Peran Nabi Dalam Membangun Ka’bah
Ka’bah merupakan bangunan pertama yang dibangun atas nama Allah SWT oleh   Nabi Ibrohim as, yang digunakan untuk beribadah dan mengesakan Allah SWT, setelah Nabi Ibrohim as dengan susah payah menghancurkan berhala-berhala dan tempat-tempat sesaji . Beliau membangun ka’bah atas wahyu Allah SWT .
وإذيرفع إبراهيم القواعد من البيت وإسماعيل ربنا تقبل منا إنك أنت السميع العليم  
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): "Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui". (QS Al baqoroh :127)
Ka’bah  pernah dilanda bencana berkali-kali sehingga bangunan ka’bah menjadi rapuh dan  temboknya menjadi retak . Diantaranya adalah bencana banjir besar yang melanda  kota Mekah  yang  terjadi selang beberapa tahun sebelum Rosulullah SAW diutus. Karena  kerusakan ka’bah  semakin bertambah ,akhirnya dengan penuh antusias  orang-orang Quraisy membangun ka’bah, sebagai wujud penghormatan dan pensucian terhadap ka’bah. Karena memuliakan dan mengagungkan ka’bah merupakan sisa dari syari’at Nabi Ibrahim as yang masih dijaga oleh bangsa arab.
Dalam pembangunan Ka’bah ini, Rosulullah SAW juga ikut andil besar. Hanya dengan mengenakan selendang ,beliau   menaruh batu- batu  di atas pundaknya dan mengangkutnya . Kala itu beliau  berusia 35 tahun.  
Diriwayatkan dalam kitab Shohih Bukhori, sahabat  Jabir ra menceritakan bahwa   “ketika ka’bah masih dibangun, Rosulullah SAW dan paman beliau Abbas  ikut serta mengakut batu-batu, Abbas berkata kepada Nabi, ”letakkan selendangmu diatas lehermu!” Rosulullah SAW pun membungkuk sedangkan kedua mata beliau mengarah ke langit, Rosulullah SAW berkata ’’mana slendangku?” hingga akhirnya  Nabi mengikatkan slendang beliau dengan tubuh beliau.
Rosulullah SAW juga mempunyai peran besar dalam menyelesaikan problem yang timbul akibat adanya perselisihan antar suku, mengenai orang yang berhak meletakkan hajar aswad pada tempatnya. Namun  berkat solusi yang ditawarkan oleh Nabi SAW akhirnya mereka semua setuju, karena mereka semua tahu bahwa Nabi SAW adalah orang yang  dicintai banyak orang yang sangat amanah hingga beliau mendapat julukan  Al Amin.
Pelajaran yang bisa  kita petik dari cerita diatas adalah :
1.       Ka’bah merupakan bangunan mulia yang berada  di bumi yang dibangun sebagai syiar untuk mentauhidkan Allah SWT.
2.       Rosulullah SAW mampu memadamkan api perselesihan antara qobilah-qobilah yang terjadi di kota mekah, ini menunjukkan  bahwa rosulullah SAW bukan hanya seorang yang cerdas dan bijak namun orang yang sengaja disiapkan Allah SWT untuk menjadi nabi dan utusa-Nya.

أصل كل معصية و غفلة و شهوة، الرضا عن النفس. و أصل كل طاعة و يقطة وعفة، عدم الرضا منك عنها، ولأن تصحب جاهلا لا يرضى عن نفسه خير لك من أن تصحب عالما يرضى عن نفسه. فأي علم لعالم يرضى عن نفسه، و أي جهل لجاهل لا يرضى عن نفسه
Intisari hikmah di atas adalah seorang hamba yang berbangga diri dan menuruti hawa nafsunya maka akan melakukan-melakukan perbuatan buruk yang menghantarkannya kepada kemurkaan Allah. Bahkan seorang hamba yang selalu waspada dan mengekang hawa nafsunya, lalu berperilaku terpuji yang membawanya menuju ridlo Allah. Sehingga orang yang memiliki segudang ilmu tetapi ia merasa puas akan nafsunya, maka ilmu yang ia miliki tak lain hanyalah sebuah kekuatan untuk melakukan perbuatan-perbuatan jelek dan hina. Namun orang yang berilmu tinggi dan memiliki hati yang bersih serta mau mengekang hawa nafsunya, ilmu yang ia miliki akan menjadi lentera yang menunjukkan pada jalan kebenaran.
PENGERTIAN NAFSU
Sebelum mempelajari hikmah ini, kita harus mengetahui arti dari kata nafsu. Nafsu mempunyai banyak arti jika ditinjau dari aturan bahasa. Terkadang nafsu bermakna ruh atau nyawa dan ada yang mengartikan nafsu bermakna darah. Kadang juga nafsu diartikan dzat dari suatu perkara.
Namun yang dikehendaki Ibnu Atho’illah dalam pembahasan ini bukanlah arti-arti di atas. Yang dimaksud nafsu dalam hikmah ini adalah perangai hewani yang tersusun dalam diri manusia, yang mendorong manusia untuk tunduk mengikuti kesenangan dan syahwat. Artinya manusia dan hewan sama-sama memiliki nafsu semacam ini dan ia merupakan sumber segala perilaku tercela.
Jika kita teliti hikmah dari Ibnu Atho’illah bahwa “Asal semua maksiat, kelalaian dan syahwat adalah rasa puas atas nafsu, begitu pula sebaliknya”, maka kita akan mengetahui asal hikmah tersebut bermula dari firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاءُ وَلاَ يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلٌا (النساء: 49)
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya dan mereka tidak aniaya sedikitpun”. (QS. Al-Nisa’: 49)
Istifham dalam ayat di atas adalah istifham inkariy, yaitu sebuah pertanyaan yang mengandung pengingkaran atas keburukan sesuatu yang ditanyakan. Berarti orang-orang yang menganggap dirinya bersih adalah orang-orang yang berada dalam keadaan buruk. Mereka memuji dirinya sendiri, berbangga-bangga dan puas atasnya. Larangan secara jelas atas sifat jelek tersebut bisa kita lihat dalam ayat berikut:
فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (النجم: 32)
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS. Al-Najm: 32)
Larangan atas akhlaq tercela yang diungkapkan ayat di atas, juga tersirat dalam sabda Rasulullah SAW:
ثَلاَث مُهلِكَات: شُحٌ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ (أخرجه البزار و الطبراني و أبو نعيم و البيهقي)
“Tiga perkara yang menyebabkan kehancuran: kikir yang dituruti, keinginan yang diikuti dan rasa bangga seseorang pada dirinya sendiri”.
PEMAHAMAN YANG KELIRU
Seorang hamba yang telah melakukan kebaikan tidak boleh menisbatkan keutamaan kepada dirinya, karena hal itu akan menimbulkan persangkaan bahwa ia telah mengalahkan syahwat dan hawa nafsunya, sehingga ia merasa telah terbebas dari kekurangan dan perangai buruk hawa nafsunya. Ia harus tahu bahwa nafsu akan selalu memerintahkan keburukan dan ia tetap berada dalam bahaya bisikan serta dorongan nafsu tersebut. Ia juga harus sadar bahwa hanya Allah-lah yang dapat menolong dan memberinya kekuatan sehingga ia mampu menentang nafsunya dan terbebas dari cengkeraman nafsunya. Dengan begitu ia akan hanyut dalam keindahan dan keagungan rasa syukur kepada Allah.
وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحُّ (النساء: 128)
“Walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir”. (QS. Al-Nisa’: 128)
Bisa kita lihat dari ayat di atas adanya sebuah hukum bahwa manusia secara tabiatnya bersifat jelek (kikir). Karenanya seseorang yang telah berhasil mengendalikan sifat jeleknya tidak boleh menisbatkan keutamaan tersebut pada dirinya, tetapi itu semua karena penjagaan Allah terhadapnya dengan tetap adanya nafsu pada dirinya.
وَ مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِه فَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ (الحشر: 9)
“Dan barang siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS. Al-Hasyr: 9)
Perhatikanlah ayat yang menyebutkan sifat-sifat orang sholih dan pujian Allah atas amal mereka:
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلى حُبِّه مِسْكِيْنًا وَّيَتِيْمًا وَّأَسِيْرًا (الإنسان: 8)
“Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. (QS. Al-Insan: 8)
Pada lafadz على حبه menyatakan bahwa nafsu selalu pada keadaan asalnya yakni rakus dan cinta terhadap harta. Namun dengan pertolongan Allah, orang-orang sholih memerangi nafsu mereka dan mampu menguasai hawa nafsunya untuk menggapai ridlo Allah. Perhatikan juga ayat di bawah ini:

زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ (آل عمران: 14)
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imron: 14)
Dari ayat di atas jelas sekali bahwa yang namanya kecintaan terhadap perhiasan dunia hanya muncul dari nafsu. Semua orang pasti memiliki nafsu yang menyukai kesenangan-kesenangan dunia. Hanya saja sebagian dari manusia ada yang mampu menguasai dan mengendalikan nafsunya sehingga tidak teperdaya oleh ajakan buruk nafsu. Sebagian lagi terkalahkan oleh nafsunya sehingga tindakannya selalu disetir oleh nafsu yang mengajaknya pada kejelekan.
Seseorang tidak boleh mengatakan bahwa ia telah lama memerangi/melawan nafsunya serta mendidik dan melatihnya sehingga ia mampu mengalahkan nafsunya yang jelek, hingga saat ini nafsunya hanya senang kepada hal-hal yang diridloi oleh Allah. Karena jika memang demikian, maka sifat kemanusiaan orang tersebut telah sirna dan ia berubah menjadi malaikat. Dan yang demikian itu, tidaklah mungkin karena bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah untuk manusia.
Orang yang mengaku bahwa nafsunya hanya senang kepada hal-hal yang diridloi Allah, ia tidak terkena taklif (beban) apa-apa dari Allah karena ia tidak merasakan kulfah (beban) apapun dengan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan perintah Allah pun menjadi sia-sia terhadapnya. Padahal perintah Allah terus berlaku kepada semua hamba-Nya.
Bahkan para rasul dan nabi pun -yang mana kita wajib menetapkan sifat ‘ishmah kepada mereka- memiliki nafsu. Dan justru dengan adanya nafsu pada diri para rasul dan nabi, maka jelaslah keluhuran kedudukan mereka karena mereka selalu dapat melepaskan diri dari cengkeraman nafsunya. Keutamaan ini tidak lain karena pertolongan dari Allah dan cinta mereka kepada Allah sehingga mereka bertekad untuk selalu melawan nafsunya.
Dengan demikian orang yang ridlo terhadap nafsunya akan tunduk pada kesenangan dan ajakan nafsunya. Pada akhirnya hal itu akan menjerumuskan dirinya dalam kehancuran. Mula-mula ia akan merasa bangga dan puas atas nafsunya. Lalu ia mengaku-ngaku sebagai orang yang bersih dari kekurangan serta mampu menaklukkan perangai buruk dan jahat yang ada pada diriya. Ia memuji dirinya sendiri, berbangga-bangga dan puas atasnya. Larangan secara jelas atas sifat tersebut bisa kita lihat dalam ayat berikut:
فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَى (النمل: 32)
“Maka janganlah kamu mengatakan bahwa dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa”. (QS. Al-Najm: 32)

CARA MENGENDALIKAN NAFSU
Bagaimana cara agar seorang muslim tidak mau mengikuti hawa nafsunya, bahkan sangat sulit untuk mengikutinya…?
Pada dasarnya Allah sudah meletakkan obat tersebut pada diri setiap manusia. Mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima dan menggunakannya.  Obat tersebut diletakkan Allah pada saat manusia ditakdirkan oleh Allah tanpa memiliki sifat ‘ishmah dan sulit untuk terhindar dari kesalahan dalam keadaan apapun. Hal ini sejalan dengan sabda Nabi SAW:

كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّائُوْنَ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ التَّوَّابُوْنَ
Allah berfiman:


Manusia memang akan selalu melakukan kesalahan, karena Allah mencoba manusia dengan meletakkan sifat lemah manusia di depan nafsunya yang selalu siap untuk menjerumuskannya. Inilah yang menyebabkan manusia seringkali mengikuti kehendak nasunya. Meskipun manusia berusaha sekuat mungkin untuk menguasai nafsunya dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruhnya, pasti akan tetap tersisa pengaruh jelek terhadap dirinya. Sewaktu-waktu pengaruh tersebut bisa berdampak besar untuk menggelincirkan manusia serta menyusahkan manusia dan membuat manusia tersebut mudah untuk melakukan kesalahan .
Melihat keadaan yang telah ditetapkan oleh allah ini, dan mengingat kesalahan-kesalahan yang di timbulkan oleh nafsu serta peran besarnya yang selalu mendorong manusia untuk melakukan kesalahan baik sengaja maupun tidak, maka pasti kita sebagai manusia yang beriman akan sangat membenci dan selalu mewaspadainya. Kecuali jika kita termasuk orang yang sudah bosan dengan syari’at-syari’at dan hokum agama serta membencinya dan menganggapnya sebagai sebuah beban berat yang tidak membawa kebaikan dan tidak bermanfaat maka pasti hal tersebut akan memunculkan kerelaan terhadap nafsu yang akan selalu merayunya untuk melakukan dosa-dosa dan penyimpangan-penyimpangan. Jika di pikir kembali, maka akan terlihat jelas keagungan hikmah allah dan keluasan kasih sayangnya dalam ketetapan allah yang menjadikan sifat dlo’if manusia menyertai nafsunya. Hal ini merupakan bentuk ketelitian dan kebesaran tuhan dalam mendidik hambanya. Sebagai manusia yang memiliki sifat dlo’if , seharusnya kita menjadikannya sebagai tameng dari nafsu dengan menjadikan kita selalu waspasda agar tidak terlena dan menuruti nafsu serta menjadikannya sebagai motifator untuk selalu merasa rendah di hadapan allah dan selalu berdo’a memohon perlindungan dari sifat negative nafsu.


PERBEDAAN SULUK DAN NAFSU
Suluk (sifat atau tingkah laku yang mempengaruhi tabi’at seorang insan) merupakan sebuah konsekuensi dari proses pergulatan seorang manusia melawan perasaan-perasaan dan motif-motif nafsu yang ada dalam dirinya. Dalam kenyataan, setip insan pasti mempunyai dua pilihan. Pertama, ridlo kepada allah serta melawan nafsu dan kesenangan. Yang kedua, ridlo kepada kemauan nafsu dan menentang perintah-perintah allah. Setelah beberapa lama terjadi pergelutan antara motif=motif untuk menerima allah dengan faktor pendorong untuk memilih kemauan nafsu, seseorang akan memilih untuk tunduk kepada ketentuan allah sehingga ia berjuang demi menegakkan hokum-hukum yang di gariskannya. Namun terkadanag ia lebih suka kebalikannya dan akhirnya ia akan menuruti semua kemauan perangai hewani. 
Nafsu adalah kumpulan kesenangan yang sudah menjadi watak yang mendorong manusia untuk memenuhi perbuatan hawa nafsunya.
Peruses perjalanan mencapai suluk akan memunculkan perasaan ridlo ataupun sebaliknya. Namun seorang manusia hanya di tuntut agar menyukai amal baik yang telah ditunjukkan allah untuknya serta membenci amal yang buruk yang dibisikkan nafsu kepadanya.perasaan ridlo pada amal kebaikan hanya akan nyata dengan adanya syukur kepada allah. Jadi, ridlo pada kebaikan merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan perasaan ujub ataupun ridlo kepada nafsu. Ketika seorang muslimtidak memiliki motf yang sempurna untuk menyukai amal soleh maka secara otomatis ia tidak akan mempunyai dorongan yang kuat untuk membenci amal buruk.

ORANG ALIM YANG RIDLO AKAN NAFSUNYA
Tidak seorangpun diantara orang yang berakal tidak mengetahui nilai ilmu, dan tak seorangpun diantara kita orang yang tidak membaca kitab allah memujidan menyanjung kemuliaan ilmu.  Tapi ketahuilah bahwa ilmu hanya sebagai wasilah (perantara) bukan tujuan utama.ketika ilmu melekat pada orang yang bersih fitrohnya besar tujuannya maka ilmu akan menjadi lentera dan selalu menunjukkan jalan yang benar. Disisi lain ilmu yang melekat pada orang yang bersih bisa mencapai puncak kebahagiaan dunia dan akhirat. Berbeda dengan ilmu yang melekat pada orang yang kotor, mempunyai niat buruk dan tujuan yang rendah maka ilmu akan menjadi kekuatan untuk niat yang buruk dan tujuan yang hina. seiring dengan bertambahnya ilmu maka semakin pandai pula ia menipu dan menghina orang lain. Bertambahnya ilmu pada seorang yang kotor seperti bertambahnya air pada pohon khandzol. Dan timbulnya istiqomah dan prunjuk dalam diri manusia yaitu dengan adanya kehawatiran dan tidak ridlo dengan nafsunya. Dengan demikian ilmu dan pebgetahuan yang ia miliki akan menjadi lentera dan menerangi jalan hidupnya dan bertemanlah dengannya meski ia termasuk golongan orang yang bodoh maka sesungguhnya rasa takut dan kehawatirannya terhadap nafsu akan selalu menjadi petunjuk kebaikan dan juru bicara yang bijaksana. sumber penyimpangan dan kesesatan pada manusia adalah karena ridlo dengan nafsunya. Dalam keadaan yang seperti ini pengetahuan dan ilmu yang ia miliki akan berubah bagaikan tentara yang tunduk pada komandannya. Inilah yang di maksud dengan ucapan syaikh ibn atho’illah 




لا تنفعه طاعتك ولا تضره معصيتك وإنما أمرك بهذه ونها ك عن هذه لما يعود عليك
Ketaatanmu tidak bermanfat bagi Allah SWT, dan kemaksiatanmu tidak membahayakan-Nya. Sesungguhnya Allah SWT memerintahkanmu berbuat taat, dan melarangmu berbuat maksiat, karena setiap perbuatan kembalinya kepadamu juga”
ENGKAU TAAT ATAU DURHAKA, ALLAH SWT TIDAK UNTUNG JUGA TIDAK RUGI
Syariat yang diturunkan oleh Allah SWT dan ditaklifkan kepada hamba-Nya merupakan jalan yang paling ideal untuk kebaikan kehidupan manusia baik secara individual ataupun secara sosial. Karenanya kewajiban seorang hamba adalah mentaati Allah SWT, tetapi bukan untuk Allah SWT, melainkan untuk kepentingan si hamba sendiri. Allah SWT tidak akan beruntung apabila semua manusia di permukaan bumi ini mentaati-Nya, juga tidak akan rugi apabila manusia semesta alam bersama-sama makhluk lainnya bermaksiat kepada Allah SWT. kepatuhan hamba kepada Allah SWT tidak memberi  manfaat dan tidak mendatangkan bahaya kepada Allah SWT.
Allah SWT dengan segala sifat-sifat kesempurnaan-Nya tidak bergantung kepada siapa pun,dan  tidak mengambil manfaat dari siapa pun. Karena itu, selain Allah SWT tidak patut dijadikan tempat menghambakan diri dan tidak patut untuk tempat memohon pertolongan.
Di dunia ini Allah SWT memberlakukan dua hukum yang saling berkaitan. Pertama adalah nidhom kauny (hukum alam) dan yang kedua adalah nidhom tasyri’i (hukum syariat). Nidhom kauny adalah hukum atau aturan yang berlaku pada alam raya ini. Hukum ini adalah hukum yang telah Allah SWT isyaratkan dalam Al Quran ketika menceritakan pertemuan antara Nabi Musa a.s dan Fir’aun.
قال ربنا الذي أعطي كل شيئ ثم هدي (طه:50)
Musa berkata: "Tuhan kami ialah (Tuhan) yang Telah memberikan kepada tiap-tiap sesuatu bentuk kejadiannya, Kemudian memberinya petunjuk” (Q.S. Thoha:50)
Maksudnya, Tuhan kami ialah Dia yang telah menciptakan segala sesuatu dan  memberikan akal, instink (naluri) dan kodrat alamiyah untuk kelanjutan hidupnya masing-masing.
Pada tempat yang lain Allah SWT juga menyebutkan tentang kejadian ini
سبح اسم ربك الأعلي الذي خلق فسوي والذي قدر فهدي(الأعلي:1-3)
 "Sucikanlah nama Tuhanmu yang Maha Tinggi. Yang Menciptakan, dan menyempurnakan (penciptaan-Nya). Dan yang menentukan kadar (masing-masing) dan memberi petunjuk” (Q.S. Al A’la:1-3)
Sedangkan nidhom tasyri,i ialah hukum atau aturan yang Allah SWT tetapkan untuk menyelaraskan hubungan antara manusia dengan alam dan dengan sesama manusia itu sendiri. Bagaimana ia bersikap dengan lingkungan sekitar, alam ,bumi dan segala hal yang terkandung didalamnya. Bagaimana ia menyesuaikan diri dengan zaman dan tempat yang memiliki karakter yang berbeda-beda. Dan bagaimana menjalani hubungan dengan sesama manusia. Semua itu di atur dalam nidhom tasyri’i.
Agar nidhom tasyri’i ini dapat terealisasi dalam kehidupan manusia, maka dibutuhkan adanya suatu pendorong yang dapat mengajak manusia untuk menjalankan nidhom tasyri’i ini dengan suka rela tanpa adanya paksaan dari pihak manapun. Pendorong ini tidak lain adalah aqidah islam serta segala bentuk ibadah yang mencakup perintah dan larangan-Nya yang dapat menguatkan aqidah tersebut.
KEWAJIBAN TAAT PADA ALLAH SWT
Setelah kita mengetahui bahwa perintah dan larangan Allah SWT adalah bagian dari nidhom tasyri’i, maka apa bukti yang bisa meyakinkan kita dengan apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Athoillah dibagian kedua yakni   bahwa sesungguhnya Allah SWT memerintahkan kita berbuat taat, dan melarang kita berbuat maksiat, karena setiap perbuatan kembalinya kepada kita juga.
Coba renungkanlah tentang nidhom kauny yang berlaku di dunia ini. Tentang benda-benda  angkasa yang tak terhitung jumlahnya, tentang angkasa raya yang begitu luas, yang dengan segala keteraturan dan keselarasannya pergerakan mereka merupakan suatu keseimbangan dan keajaiban yang maha dahsyat. Tentang angin, udara dan awan yang berada diantara langit dan bumi serta hal-hal yang berkaitan dengannya seperti proses kejadian hujan. Tentang permukaan bumi yang bulat namun terasa terhampar sehingga kita dapat menjelajah sentero penjuru dunia ini tanpa harus terperosok ataupun terjatuh. Tentang gaya gravitasi bumi yang sesuai dengan seluruh pergerakan di muka bumi ini. Juga tentang kekayaan yang terkandung di dalam perut bumi, sesuatu yang tumbuh di permukaannya, maupun sesuatu yang terpancar darinya dan segala hal yang ada di dunia yang begitu luas ini.
Segala keteraturan dan ketelitian hukum alam ini adalah untuk kemaslahatan manusia. Bumi dengan segala hal yang terkandung di dalamnya seperti air, gas, tumbuh-tumbuhan dan lain-lainnya ini Allah SWT sediakan untuk memenuhi kebutuhan manusia. Begitu juga benda-benda langit yang telah Allah SWT rancang dengan sedemikian teliti dapat membantu kita untuk menunjukan waktu dan menyesuaikan keadaan zaman yang berhubungan dengan kehidupan kita.
Setelah kita mengetahui bahwa Allah SWT yang telah menetapkan –untuk memenuhi kebutuhan manuasia- nidhom kauny, kemudian Dia juga yang telah menetapkan –agar menjadi tujuan hidup manusia- nidhom tasyri’i untuk mengatur hubungan antar sesama manusia maupun manusia dengan alam. Maka  sangat tidak mungkin Allah SWT yang telah merintahkan kita untuk menjalankan nidhom tasyri’i akan melanggarnya sendiri. Tidak mungkin Dzat yang telah menciptakan alam ini serta menetapkan aturan-aturannya agar alam tetap terpelihara demi terpenuhinya kebutuhan hidup manusia akan rela begitu saja merusaknya dan hanya menjadikannya mainan saja.
Nidhom kauny dan nidhom tasyri’i ini bisa kita analogikan pada sebuah perusahaan atau produsen yang memproduksi alat guna mempermudah kehidupan manusia. Langkah pertama ia akan memperkenalkan alat yang dibuatnya serta cara kerja dan fungsinya. Ini merupakan contoh nidhom kauny Allah SWT. setelah memperkenalkan alat yang diproduksinya tentu ia juga akan memberikan buku pedoman bagi pengguna alat tersebut. Langkah yang kedua ini adalah contoh nidhom tasyri’i Allah SWT.
Bagi seorang yang cerdas pastinya akan mengetahui bahwa alat yang dimilikinya itu tidak akan berfungsi optimal jika tidak ada buku pedoman untuk menggunakan serta merawatnya. Selain itu dia juga tidak akan puas begitu saja atas alat yang didapatnya itu. Karenanya pasti dia akan berusaha mengoptimalkan fungsinya dan juga merawatnya dengan cara melaksanakan apa yang telah dijelaskan pada buku pedoman yang didapatkannya dari dari pihak produsen.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa seseorang yang hanya mau menerima nidhom kauny saja namun tidak mau melaksanakan nidhom tasyri’i adalah orang yang bodoh. Ini merupakan salah satu bukti bahwa perintah dan larangan Allah SWT merupakan bentuk hadiyah dari Allah SWT demi kesejahteraan hidup manusia. Namun hal ini jarang sekali dipahami oleh kebanyakan orang.   
Selain bukti diatas masih ada lagi bukti-bukti yang lain, misalnya aturan atau hukum-hukum Allah SWT. Hukum–hukum Allah SWT yang begitu teliti ini Allah SWT tetapkan untuk mengatur berbagai macam kemaslahatan untuk manusia. jika kita cermati maka kita tahu bahwa kemaslahatan manusia itu terkandung  dalam lima hal, yakni kemaslahatan agama, hidup, akal atau jiwa, nasab dan harta. Dan semua ini telah termaktub dalam hukum-hukum Allah Yang Maha Bijaksana.
Dalam Al Qur’an juga dijelaskan bahwa Allah SWT  tidak menghendaki adanya syariat Allah SWT ini menjadi beban bagi kita, melainkan  Allah SWT menghendaki adanya  hukum-hukum tersebut  menjadi kebaikan yang kembali kepada kita. Sebagaimana firman Allah SWT :
tPöquø9$# àMù=yJø.r& öNä3s9 öNä3oYƒÏŠ àMôJoÿøCr&ur öNä3øn=tæ ÓÉLyJ÷èÏR àMŠÅÊuur ãNä3s9 zN»n=óM}$# $YYƒÏŠ  (المائدة : 3)
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan agamamu untukmu, dan telah Aku cukupkan nikmatmu bagimu dan telah Aku ridloi islam sebagai agamamu”. (Q.S. Al-Maidah:3)
ô`tB Ÿ@ÏJtã $[sÎ=»|¹ `ÏiB @Ÿ2sŒ ÷rr& 4Ós\Ré& uqèdur Ö`ÏB÷sãB ¼çm¨ZtÍósãZn=sù Zo4quym Zpt6ÍhŠsÛ (   (النحل : 97)
“Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan padanya kehidupan yang baik”. (Q.S. An-Nahl:97)
߃̍ムª!$# ãNà6Î/ tó¡ãŠø9$# Ÿwur ߃̍ムãNà6Î/ uŽô£ãèø9$#   (البقرة : 185)
Allah SWT menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu”. (Q.S. Al-Baqoroh:185)
$tBur Ÿ@yèy_ ö/ä3øn=tæ Îû ÈûïÏd9$# ô`ÏB 8ltym 4   (الحج : 78)
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama” (Q.S. Al-Hajj:78)
Apakah  terbesit dalam benak kita bahwa kalam Allah SWT adalah  perkara  yang dusta ? Na’udzubillah mindzdalik.
PENTINGNYA AQIDAH
Aqidah sangat penting bagi kita, sebab dengan aqidah kita bisa mengenal Dzat yang mengatur alam semesta khususnya pada urusan kita, entah dalam urusan yang baik atau dalam urusan yang buruk. Dengan aqidah pula kita bisa mengetahui Dzat yang memperkenalkan dan mengatur alam semesta ini untuk kemaslahatan kita yaitu Tuhan kita Allah ‘Azza Wa Jalla. Maka jika kita sudah mengenal-Nya, percaya akan cinta dan kasih sayang-Nya kapada kita niscaya kita bisa menerima hukum-hukum syariat Allah SWT dengan kemantapan dan hati yang lapang. Sehingga dengan perasaan yang demikian kita bisa terdorong untuk menjalankan dan memposisikan syariat-syariat Allah SWT menjadi bagian yang terpenting dalam hidup kita.
Misalnya, ketika ada seseorang yang sakit maka dia akan mencari seorang dokter yang  bisa dia harapkan untuk menanganinya. Dia akan mencari informasi tentang seorang dokter spesialis yang ahli dan terpercaya untuk menangani penyakitnya. Setelah ia mendapatkan dokter tersebut, dan ia pun yakin dan percaya penuh padanya maka ia akan menjalankan segala hal yang disarankan oleh dokter tersebut.
Begitu juga seorang hamba, agar ia bisa menjalankan syariat Allah SWT dengan penuh kepercayaan dan keikhlasan maka ia harus melakukan langah-langkah sepeti yang dilakukan orang yang sakit tadi. Langkah bagi hamba tersebut tak lain adalah aqidah yang memang dibutuhkan oleh seorang hamba.
Adapun ibadah-ibadah dengan segala bentuknya merupakan  suatu kebutuhan seorang hamba untuk memperkuat aqidahnya tersebut dan dapat mengantarkannya pada derajat yang luhur di sisi Allah SWT.

فاللهم حققنا بذلك كله وارزقنا الإستسلام لحكمك والرضا بقضائك والإلتزام بهديك  . . . .