KH. M.Wafi MZ. Lc. Msi
RAHASIA DI BALIK COBAAN
لا تستغرب وقوع الأكدار ما دامت في هذه الدار فإنها ما أبرزت إلا ما هو مستحق وصفها وواجب نعتها
"Janganlah menganggap aneh akan adanya
beberapa problematika, selama engkau masih di dunia ini. Karena tidak
akan ada di dunia ini kecuali sesuatu yang sudah pasti dan harus ada"
Uraian Dalam hikmah diatas Imam Ibnu
‘Athoillah bermaksud merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi di
sekitar kita dari masa ke masa. Yaitu, kenapa Allah swt menjadikan kita
hidup di dunia harus menghadapi beberapa cobaan dan problematika? Kenapa
pula di balik kebahagiaan yang kita rasakan di dunia, pasti selalu
diiringi dengan musibah? Jawabnya adalah: di balik semua itu ada banyak
hikmah yang bisa kita petik, yang secara ringkas bisa kita simpulkan
menjadi dua poin. Pertama, Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat
cobaan atau bisa dikatakan sebagai tempat ujian bagi manusia. Manusia,
di samping telah diberi amanat oleh Allah swt sebagai kholifah, juga di
bebani tanggungan berupa Ubudiyyah (penghambaan) pada Allah secara
Ikhtiyari (atas kemauan manusia sendiri), sebagaimana allah mewajibkan
bagi makhluk-makhluk-Nya yang lain untuk menghamba kepadanya tetapi
secara Qohri (terpaksa).
Praktek ubudiyah bisa terealisasikan
dengan adanya ketundukan total terhadap semua hukum yang telah
ditetapkan oleh Allah swt serta ridlo akan taqdir-Nya, baik berupa
nikmat atau cobaan, serta meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa semua
yang terjadi adalah berdasar kehendakNya. Kita bisa mengambil sebuah
kesimpulan bahwa manusia memang disiapkan oleh Allah sebagai mukallaf
atau orang yang siap menerima beban dan tanggung jawab dari Allah swt.
Coba kita bayangkan jika manusia di dunia ini hanya mendapatkan nikmat
saja, tidak pernah mendapatkan musibah sama sekali.
Mereka selalu senang dan bahagia, tidak
pernah merasakan kesusahan sedikit pun, maka akan muncul sebuah
pertanyaan singkat, "Mana bukti kehambaan manusia? Bagaimana sebuah
penghambaan bisa tampak darinya, Sedang ia selalu berada dalam
kesenangan dan kenikmatan." Ya, pertanyaan di atas sangat layak untuk
dilontarkan. Karena penghambaan merupakan buah dari taklif, sedang
sesuatu tidak bisa dikatakan taklif jika tidak mengandung masyaqqoh
(kepayahan).
Orang yang berakal sehat, malah akan
merasa aneh jika membayangkan bahwa dunia ini hanya dipenuhi kesenangan
dan kenikmatan belaka. Karena masyaqqoh yang merupakan implementasi dari
ubudiyyah tidak bisa tampak dalam dunia seperti yang disebut tadi,
sehingga ia akan kehilangan kesempatan untuk menghambakan dirinya atau
bercumbu (Munajat) dengan kekasih satu-satunya, yakni Allah swt.
Kehidupan yang hanya dipenuhi oleh
berbagai kenikmatan dan kesenangan sangat membingungkan bagi orang yang
berakal dan punya mata hati. Doa adalah buah dari rasa faqir (butuh),
lemah dan Khosyyah (ketakutan) kita akan segala siksa, musibah dan
ancaman terhadap diri kita.
Sehingga hal itu akan mendorong kita
untuk berdoa dan meminta kepada Dzat yang maha kaya, maha kuat untuk
melindungi kita. Lalu bagaimana bisa manusia berdoa sedang ia tidak
pernah menghawatirkan apa pun atas dirinya.
Dengan kepadaian akal dan ketajaman mata
hati manusia, maka akan timbul sebuah respon dan sikap yang baik
terhadap adanya beberapa Taklif dan macam-macam cobaan ataupun
kenikmatan dari allah swt, sikap yang kami maksud diatas adalah sabar,
jika yang memang yang kita terima adalah musibah dan cobaan, dan sikap
syukur, jika yang kita terima adalah kesenangan dan kenikmatan. Kedua,
jika kita mau merenung, kita akan tahu bahwa kehidupan dunia ini adalah
sebuah area atau medan terjal yang dipenuhi dengan rintangan, untuk
menuju ke suatu tempat yang kekal dan abadi, yakni akirat. Allah swt pun
sudah menetapkan bahwa pintu yang kita lewati untuk menuju ke alam
keabadian tersebut hanya satu, tidak ada yang lain. Hal itu tak lain
adalah kematian. Jadi, kematian adalah akhir dari episode kehidupan
manusia di dunia ini.
Dan kematian bukanlah ketiadaan
sebagaimana disangka oleh sebagian orang, akan tetapi perpindahan dari
satu kehidupan menuju ke kehidupan yang lain. Jika kita sudah tahu bahwa
kehidupan dunia tidak kekal, maka apakah masuk akal jika kemudian
kehidupan dunia ini hanya dipenuhi dengan kenikmatan dan kebahagiaan
saja? Padahal kehidupan ini bisa dikatakan lebih mirip dengan kondisi
orang yang singgah di suatu tempat dan tentunya tidak lama.
Tentu tidak masuk akal bagi orang
berakal dan punya pandangan mata hati yang tajam. Andaikan kehidupan
dunia hanya dipenuhi kenikmatan dan kebahagiaan saja maka hal itu akan
menimbulkan kecintaan seorang hamba terhadap dunia dan selalu ingin
hidup didalamnya. Ia merasa bahwa dunia ini rumahnya, ia lalai bahwa
sebenarnya tempat tinggalnya adalah di akherat, ia selalu memperbaiki
dan menghiasi kehidupan dunia ini, sementara ia lupa akan rumahnya yang
di akherat nanti.
Hal ini semua adalah akibat adanya
persepsi bahwa dunia mestinya hanya diisi dan dipenuhi dengan kenikmatan
dan kebahagiaan saja. Irama kehidupan dunia yang kadang dimainkan
dengan lagu-lagu yang bersenandung kebahagiaan dan kadang dimainkan
dengan lagu-lagu yang bersenandung kesusahan adalah satu bentuk rahmat
dan kasih sayang allah swt terhadap hambanya. Karena Dia tidak ingin
melihat hambanya terpesona dan nyaman dengan irama-irama keindahan dunia
ini dan lupa bahwa nanti masih ada kehidupan yang kekal dan abadi yang
membutuhkan bekal yang tentunya juga lebih banyak.
Dalil-dalil Dua poin di atas merupakan
hal yang tidak bisa kita pungkiri. Karena keduanya merupakan penjelasan
(Syarh) atas hikmah yang disampaikan Ibnu ‘Athoillah diatas. Dan dua
poin ini bisa menjawab dan mengurangi kesusahan dan kegelisahan kita
melihat kehidupan dunia yang diiringi irama susah dan senang.
Akan tetapi yang menjadi pertanyaan,
mana dalil yang menguatkan dan membenarkan dua poin di atas? Atau apakah
kedua poin di atas hanya merupakan renungan dan angan-angan yang
merupakan kreasi akal dan fikiran Ibnu ‘Athoillah saja? Tentu jawabnya
ada dalil dari al-Qur'an dan Hadis yang mendukung dan membenarkan dua
poin di atas. Al-Qur'an telah mengingatkan kita akan hal ini dalam
beberapa ayatnya, coba saja kita perhatikan dan renungi surat Ali Imron
ayat 186 di bawah ini:
لتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ
وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ
قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا
وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ.
"Kamu sungguh-sungguh akan diuji
terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan
mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari
orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang
menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya
yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan"
Dalam salah satu ayat al-Qur'an ada satu
keterangan yang lebih jelas dan mengumpulkan semua keterangan di atas,
yakni dalam surat al-Mulk ayat 1-2 yang berbunyi:
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ
الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ.
"Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah
segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan
mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang
lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".
Jadi, jika kita telah mengetahui bahwa
kehidupan di dunia adalah tempat taklif, cobaan dan ujian maka kita
harusnya yakin bahwa kehidupan akhirat adalah tempat untuk memperoleh
pahala dan pembalasan.
Hal ini akan kita temukan secara jelas dalam surat al-Anbiya' ayat 35 yang berbunyi:
وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ.
"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)".
Uraian di ataslah kira-kira adalah yang
dikehendaki oleh imam Ibnu ‘Athoillah dalam hikmahnya. Aplikasi
Sebenarnya hikmah di atas telah teraplikasikan dalam kehidupan para
kekasih Allah swt setiap harinya.
Hal ini bisa kita ketahui dari beberapa ungkapan mereka.
Di antaranya adalah:
a. Imam Abu al-Qosim al-junaidi pada
satu kesempatan berkata, "Aku tidak pernah merasa kenyang dengan segala
sesuatu yang datang padaku dari dunia ini, karena dunia adalah tempat
kesusahan, cobaan dan fitnah. Maka, dunia dan seisinya adalah sesuatu
yang jelek dan berbahaya. Karenanya dunia pasti datang kepadaku dengan
segala sesuatu yang aku benci, dan jika ia datang kepadaku dengan
sesuatu yang aku senangi maka itu hanya sesuatu yang berlebihan."
b. Imam Abu Turab Ra berkata, "Wahai
para manusia, sesungguhnya engkau mencintai tiga perkara padahal
sebenarnya ketiganya bukan hakmu. Pertama nafsu, padahal sebenarnya ia
adalah untuk kesenangannya (hawa). Kedua, ruh padahal sebenarnya ia
adalah milik Allah. Ketiga, harta padahal nanti hartamu akan dimiliki
oleh ahli warismu. Engkau mencari dua perkara, padahal engkau tidak akan
pernah mendapatkannya, yakni kesenangan dan kenyamanan sedang keduanya
hanya ada di surga.
Maka hal yang wajib dilakukan oleh
seorang hamba adalah tidak menjadikan dirinya nyaman di dunia dan tidak
mempunyai kecenderungan terhadap sesuatu yang menjadikan kita bahagia
dan nyaman didunia.
Kita harus belajar dan berusaha untuk
mengamalkan dan mengimplemetasikan sabda baginda Nabi Muhammad saw :
dunia adalah penjara bagi orang mu'min dan surga bagi orang kafir.
Kebiasaan seorang hamba untuk menghadapi cobaan di dunia akan menjadikan
dia merasa ringan dalam segala hal yang mereka hadapi dan temui, ia pun
akan merasa nyaman saja ketika kehilangan sesuatu yang disenangi
olehnya. Hendaknya seorang murid (orang yang menghendaki jalan akherat)
menghadapi apa saja yang ia temui dengan penuh kesabaran, pasrah dan
ridlo terhadap qodlo' allah swt, maka insya allah sebentar lagi akan
tampak jelas rahmat allah atas dirinya dan menyebabkan ia mendapat
pahala dari Allah swt. Waallahu ‘alam bis showab.
0 komentar:
Posting Komentar