أصل كل معصية و غفلة
و شهوة، الرضا عن النفس. و أصل كل طاعة و يقطة وعفة، عدم الرضا منك عنها، ولأن
تصحب جاهلا لا يرضى عن نفسه خير لك من أن تصحب عالما يرضى عن نفسه. فأي علم لعالم
يرضى عن نفسه، و أي جهل لجاهل لا يرضى عن نفسه
Intisari
hikmah di atas adalah seorang hamba yang berbangga diri dan menuruti hawa
nafsunya maka akan melakukan-melakukan perbuatan buruk yang menghantarkannya
kepada kemurkaan Allah. Bahkan seorang hamba yang selalu waspada dan mengekang
hawa nafsunya, lalu berperilaku terpuji yang membawanya menuju ridlo Allah. Sehingga
orang yang memiliki segudang ilmu tetapi ia merasa puas akan nafsunya, maka
ilmu yang ia miliki tak lain hanyalah sebuah kekuatan untuk melakukan
perbuatan-perbuatan jelek dan hina. Namun orang yang berilmu tinggi dan
memiliki hati yang bersih serta mau mengekang hawa nafsunya, ilmu yang ia
miliki akan menjadi lentera yang menunjukkan pada jalan kebenaran.
PENGERTIAN NAFSU
Sebelum
mempelajari hikmah ini, kita harus mengetahui arti dari kata nafsu. Nafsu mempunyai
banyak arti jika ditinjau dari aturan bahasa. Terkadang nafsu bermakna ruh atau
nyawa dan ada yang mengartikan nafsu bermakna darah. Kadang juga nafsu
diartikan dzat dari suatu perkara.
Namun yang
dikehendaki Ibnu Atho’illah dalam pembahasan ini bukanlah arti-arti di atas.
Yang dimaksud nafsu dalam hikmah ini adalah perangai hewani yang tersusun dalam
diri manusia, yang mendorong manusia untuk tunduk mengikuti kesenangan dan
syahwat. Artinya manusia dan hewan sama-sama memiliki nafsu semacam ini dan ia
merupakan sumber segala perilaku tercela.
Jika kita
teliti hikmah dari Ibnu Atho’illah bahwa “Asal semua maksiat, kelalaian dan
syahwat adalah rasa puas atas nafsu, begitu pula sebaliknya”, maka kita akan
mengetahui asal hikmah tersebut bermula dari firman Allah:
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يُزَكُّوْنَ
أَنْفُسَهُمْ بَلِ اللهُ يُزَكِّيْ مَنْ يَّشَاءُ وَلاَ يُظْلَمُوْنَ فَتِيْلٌا
(النساء: 49)
“Apakah kamu tidak memperhatikan
orang yang menganggap dirinya bersih? Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya
dan mereka tidak aniaya sedikitpun”. (QS. Al-Nisa’: 49)
Istifham dalam ayat di atas
adalah istifham inkariy, yaitu sebuah pertanyaan yang mengandung pengingkaran
atas keburukan sesuatu yang ditanyakan. Berarti orang-orang yang menganggap dirinya
bersih adalah orang-orang yang berada dalam keadaan buruk. Mereka memuji
dirinya sendiri, berbangga-bangga dan puas atasnya. Larangan secara jelas atas
sifat jelek tersebut bisa kita lihat dalam ayat berikut:
فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ
بِمَنِ اتَّقَى (النجم: 32)
“Maka janganlah kamu mengatakan
dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa”. (QS. Al-Najm:
32)
Larangan atas akhlaq tercela yang
diungkapkan ayat di atas, juga tersirat dalam sabda Rasulullah SAW:
ثَلاَث مُهلِكَات: شُحٌ مُطَاعٌ وَهَوًى مُتَّبَعٌ
وَإِعْجَابُ الْمَرْءِ بِنَفْسِهِ (أخرجه
البزار و الطبراني و أبو نعيم و البيهقي)
“Tiga perkara yang menyebabkan
kehancuran: kikir yang dituruti, keinginan yang diikuti dan rasa bangga
seseorang pada dirinya sendiri”.
PEMAHAMAN YANG KELIRU
Seorang hamba
yang telah melakukan kebaikan tidak boleh menisbatkan keutamaan kepada dirinya,
karena hal itu akan menimbulkan persangkaan bahwa ia telah mengalahkan syahwat
dan hawa nafsunya, sehingga ia merasa telah terbebas dari kekurangan dan
perangai buruk hawa nafsunya. Ia harus tahu bahwa nafsu akan selalu
memerintahkan keburukan dan ia tetap berada dalam bahaya bisikan serta dorongan
nafsu tersebut. Ia juga harus sadar bahwa hanya Allah-lah yang dapat menolong
dan memberinya kekuatan sehingga ia mampu menentang nafsunya dan terbebas dari
cengkeraman nafsunya. Dengan begitu ia akan hanyut dalam keindahan dan
keagungan rasa syukur kepada Allah.
وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحُّ (النساء: 128)
“Walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir”. (QS. Al-Nisa’: 128)
Bisa kita
lihat dari ayat di atas adanya sebuah hukum bahwa manusia secara tabiatnya
bersifat jelek (kikir). Karenanya seseorang yang telah berhasil mengendalikan
sifat jeleknya tidak boleh menisbatkan keutamaan tersebut pada dirinya, tetapi
itu semua karena penjagaan Allah terhadapnya dengan tetap adanya nafsu pada
dirinya.
وَ مَنْ يُوْقَ شُحَّ نَفْسِه فَأُولئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ
(الحشر: 9)
“Dan barang siapa yang dipelihara
dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung”. (QS.
Al-Hasyr: 9)
Perhatikanlah
ayat yang menyebutkan sifat-sifat orang sholih dan pujian Allah atas amal
mereka:
وَيُطْعِمُوْنَ الطَّعَامَ عَلى حُبِّه مِسْكِيْنًا
وَّيَتِيْمًا وَّأَسِيْرًا (الإنسان: 8)
“Dan mereka memberikan makanan
yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. (QS.
Al-Insan: 8)
Pada lafadz على حبه menyatakan bahwa nafsu selalu pada keadaan asalnya yakni rakus
dan cinta terhadap harta. Namun dengan pertolongan Allah, orang-orang sholih
memerangi nafsu mereka dan mampu menguasai hawa nafsunya untuk menggapai ridlo
Allah. Perhatikan juga ayat di bawah ini:
زُيِّنَ لِلنَّاسِ حُبُّ الشَّهَوَاتِ مِنَ النِّسَاءِ
وَالْبَنِيْنَ وَالْقَنَاطِيْرِ الْمُقَنْطَرَةِ مِنَ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَالْخَيْلِ
الْمُسَوَّمَةِ وَالْأَنْعَامِ وَالْحَرْثِ ذلِكَ مَتَاعُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَاللهُ
عِنْدَه حُسْنُ الْمَآبِ (آل عمران: 14)
“Dijadikan indah pada
(pandangan) manusia kecintaan terhadap apa-apa yang diingini, yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda
pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di
dunia. Dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga)”. (QS. Ali Imron:
14)
Dari ayat di
atas jelas sekali bahwa yang namanya kecintaan terhadap perhiasan dunia hanya
muncul dari nafsu. Semua orang pasti memiliki nafsu yang menyukai
kesenangan-kesenangan dunia. Hanya saja sebagian dari manusia ada yang mampu
menguasai dan mengendalikan nafsunya sehingga tidak teperdaya oleh ajakan buruk
nafsu. Sebagian lagi terkalahkan oleh nafsunya sehingga tindakannya selalu
disetir oleh nafsu yang mengajaknya pada kejelekan.
Seseorang
tidak boleh mengatakan bahwa ia telah lama memerangi/melawan nafsunya serta
mendidik dan melatihnya sehingga ia mampu mengalahkan nafsunya yang jelek,
hingga saat ini nafsunya hanya senang kepada hal-hal yang diridloi oleh Allah.
Karena jika memang demikian, maka sifat kemanusiaan orang tersebut telah sirna
dan ia berubah menjadi malaikat. Dan yang demikian itu, tidaklah mungkin karena
bertentangan dengan apa yang telah digariskan oleh Allah untuk manusia.
Orang yang
mengaku bahwa nafsunya hanya senang kepada hal-hal yang diridloi Allah, ia
tidak terkena taklif (beban) apa-apa dari Allah karena ia tidak merasakan
kulfah (beban) apapun dengan apa yang diperintahkan Allah kepadanya dan
perintah Allah pun menjadi sia-sia terhadapnya. Padahal perintah Allah terus
berlaku kepada semua hamba-Nya.
Bahkan para
rasul dan nabi pun -yang mana kita wajib menetapkan sifat ‘ishmah kepada
mereka- memiliki nafsu. Dan justru dengan adanya nafsu pada diri para rasul dan
nabi, maka jelaslah keluhuran kedudukan mereka karena mereka selalu dapat
melepaskan diri dari cengkeraman nafsunya. Keutamaan ini tidak lain karena
pertolongan dari Allah dan cinta mereka kepada Allah sehingga mereka bertekad
untuk selalu melawan nafsunya.
Dengan
demikian orang yang ridlo terhadap nafsunya akan tunduk pada kesenangan dan
ajakan nafsunya. Pada akhirnya hal itu akan menjerumuskan dirinya dalam
kehancuran. Mula-mula ia akan merasa bangga dan puas atas nafsunya. Lalu ia
mengaku-ngaku sebagai orang yang bersih dari kekurangan serta mampu menaklukkan
perangai buruk dan jahat yang ada pada diriya. Ia memuji dirinya sendiri,
berbangga-bangga dan puas atasnya. Larangan secara jelas atas sifat tersebut
bisa kita lihat dalam ayat berikut:
فَلَا تُزَكُّوْا أَنْفُسَكُمْ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ
اتَّقَى (النمل: 32)
“Maka janganlah kamu
mengatakan bahwa dirimu suci. Dia-lah yang paling mengetahui tentang orang yang
bertaqwa”. (QS. Al-Najm: 32)
CARA MENGENDALIKAN NAFSU
Bagaimana cara agar seorang muslim tidak mau mengikuti
hawa nafsunya, bahkan sangat sulit untuk mengikutinya…?
Pada dasarnya Allah sudah meletakkan obat tersebut pada
diri setiap manusia. Mereka tidak memiliki pilihan lain kecuali menerima dan menggunakannya. Obat tersebut diletakkan Allah pada saat
manusia ditakdirkan oleh Allah tanpa memiliki sifat ‘ishmah dan sulit untuk
terhindar dari kesalahan dalam keadaan apapun. Hal ini sejalan dengan sabda
Nabi SAW:
كُلُّ بَنِيْ آدَمَ خَطَّائُوْنَ وَخَيْرُ الْخَطَّائِيْنَ
التَّوَّابُوْنَ
Allah berfiman:
Manusia memang akan selalu melakukan kesalahan, karena Allah
mencoba manusia dengan meletakkan sifat lemah manusia di depan nafsunya yang
selalu siap untuk menjerumuskannya. Inilah yang menyebabkan manusia seringkali
mengikuti kehendak nasunya. Meskipun manusia berusaha sekuat mungkin untuk
menguasai nafsunya dan melepaskan diri dari pengaruh-pengaruhnya, pasti akan
tetap tersisa pengaruh jelek terhadap dirinya. Sewaktu-waktu pengaruh tersebut
bisa berdampak besar untuk menggelincirkan manusia serta menyusahkan manusia
dan membuat manusia tersebut mudah untuk melakukan kesalahan .
Melihat keadaan yang telah ditetapkan oleh allah ini, dan
mengingat kesalahan-kesalahan yang di timbulkan oleh nafsu serta peran besarnya
yang selalu mendorong manusia untuk melakukan kesalahan baik sengaja maupun
tidak, maka pasti kita sebagai manusia yang beriman akan sangat membenci dan
selalu mewaspadainya. Kecuali jika kita termasuk orang yang sudah bosan dengan
syari’at-syari’at dan hokum agama serta membencinya dan menganggapnya sebagai
sebuah beban berat yang tidak membawa kebaikan dan tidak bermanfaat maka pasti
hal tersebut akan memunculkan kerelaan terhadap nafsu yang akan selalu
merayunya untuk melakukan dosa-dosa dan penyimpangan-penyimpangan. Jika di pikir
kembali, maka akan terlihat jelas keagungan hikmah allah dan keluasan kasih
sayangnya dalam ketetapan allah yang menjadikan sifat dlo’if manusia menyertai
nafsunya. Hal ini merupakan bentuk ketelitian dan kebesaran tuhan dalam
mendidik hambanya. Sebagai manusia yang memiliki sifat dlo’if , seharusnya kita
menjadikannya sebagai tameng dari nafsu dengan menjadikan kita selalu waspasda
agar tidak terlena dan menuruti nafsu serta menjadikannya sebagai motifator
untuk selalu merasa rendah di hadapan allah dan selalu berdo’a memohon
perlindungan dari sifat negative nafsu.
PERBEDAAN SULUK DAN NAFSU
Suluk (sifat atau tingkah laku yang mempengaruhi tabi’at
seorang insan) merupakan sebuah konsekuensi dari proses pergulatan seorang
manusia melawan perasaan-perasaan dan motif-motif nafsu yang ada dalam dirinya.
Dalam kenyataan, setip insan pasti mempunyai dua pilihan. Pertama, ridlo kepada
allah serta melawan nafsu dan kesenangan. Yang kedua, ridlo kepada kemauan
nafsu dan menentang perintah-perintah allah. Setelah beberapa lama terjadi
pergelutan antara motif=motif untuk menerima allah dengan faktor pendorong
untuk memilih kemauan nafsu, seseorang akan memilih untuk tunduk kepada
ketentuan allah sehingga ia berjuang demi menegakkan hokum-hukum yang di
gariskannya. Namun terkadanag ia lebih suka kebalikannya dan akhirnya ia akan
menuruti semua kemauan perangai hewani.
Nafsu adalah kumpulan kesenangan yang sudah menjadi watak
yang mendorong manusia untuk memenuhi perbuatan hawa nafsunya.
Peruses perjalanan mencapai suluk akan memunculkan
perasaan ridlo ataupun sebaliknya. Namun seorang manusia hanya di tuntut agar
menyukai amal baik yang telah ditunjukkan allah untuknya serta membenci amal
yang buruk yang dibisikkan nafsu kepadanya.perasaan ridlo pada amal kebaikan
hanya akan nyata dengan adanya syukur kepada allah. Jadi, ridlo pada kebaikan
merupakan sesuatu yang sangat bertentangan dengan perasaan ujub ataupun ridlo
kepada nafsu. Ketika seorang muslimtidak memiliki motf yang sempurna untuk
menyukai amal soleh maka secara otomatis ia tidak akan mempunyai dorongan yang
kuat untuk membenci amal buruk.
ORANG ALIM YANG RIDLO AKAN
NAFSUNYA
Tidak seorangpun diantara orang yang berakal tidak
mengetahui nilai ilmu, dan tak seorangpun diantara kita orang yang tidak
membaca kitab allah memujidan menyanjung kemuliaan ilmu. Tapi ketahuilah bahwa ilmu hanya sebagai wasilah
(perantara) bukan tujuan utama.ketika ilmu melekat pada orang yang bersih fitrohnya
besar tujuannya maka ilmu akan menjadi lentera dan selalu menunjukkan jalan
yang benar. Disisi lain ilmu yang melekat pada orang yang bersih bisa mencapai
puncak kebahagiaan dunia dan akhirat. Berbeda dengan ilmu yang melekat pada
orang yang kotor, mempunyai niat buruk dan tujuan yang rendah maka ilmu akan
menjadi kekuatan untuk niat yang buruk dan tujuan yang hina. seiring dengan
bertambahnya ilmu maka semakin pandai pula ia menipu dan menghina orang lain.
Bertambahnya ilmu pada seorang yang kotor seperti bertambahnya air pada pohon
khandzol. Dan timbulnya istiqomah dan prunjuk dalam diri manusia yaitu dengan
adanya kehawatiran dan tidak ridlo dengan nafsunya. Dengan demikian ilmu dan
pebgetahuan yang ia miliki akan menjadi lentera dan menerangi jalan hidupnya
dan bertemanlah dengannya meski ia termasuk golongan orang yang bodoh maka
sesungguhnya rasa takut dan kehawatirannya terhadap nafsu akan selalu menjadi
petunjuk kebaikan dan juru bicara yang bijaksana. sumber penyimpangan dan
kesesatan pada manusia adalah karena ridlo dengan nafsunya. Dalam keadaan yang
seperti ini pengetahuan dan ilmu yang ia miliki akan berubah bagaikan tentara
yang tunduk pada komandannya. Inilah yang di maksud dengan ucapan syaikh ibn
atho’illah
Barakallah mantap gan artikelnya. Numpang info gan Rumah Dijual di Depok
BalasHapusSubhanallah , sangat bermanfaat sekali infonya
BalasHapusterkadang kita tidak bisa mengendalikan nafsu karena kita jauh dari sang pencipta.
BalasHapusperumahan baru di pamulang
perumahan di cimanggis depok
perumahan di denpasar
perumahan tanpa dp di bekasi