Perjalanan ke karimun jawa.
#ahad 25-06-2011
- jam 04 00 berangkat dari sarang.
- jam 08 00 sampai pelabuhan kartini.tapi tertinggal kapal.
-trus cari makan di pondok bambu, makan kakap dan patikoli.
-jam 10 00 sampai di rumah taufik mantingan kedondong.
-jam 10 30 ke dongos kedung diutus ngisi pengajian wpp.di antar rifai dan mas sodik.
-jam 13 00 sampai di p marzuki bangsri.
-jam 15 30 sampai rumah taufik kembali.
-jam 17 00 jalan jalan dengan rofiuddin ke maqam sunan hadirin dan ratu kalinyamatan.dan sunan jepara abd jalil.
-trus ke taman kartini solat magrib.
-jam 19 30 pijet oleh mas jatmiko. Trus makam trus tidur.

# senen 27-06-2011
-jam 7 00 brangkat ke pelabuhan kartini.karena masih pagi kita jalan jalan ke taman kartini .nyewa atv 25 ribu tuk setrngah jam.
-jam 10 40 berangkat .
-jam 13 36 sampai pelabuhan karimun.
-jam 13 30 sampai penginapannya mbah muin.lalu makan dan solat.
-jam 14 15 sampai ke maqam amir husain putra sunan kudus atau sunan muria.
-trus mandi di laut.
-bilas dan magriban dirumah bapak carik
+catatan
# harga atv (sepeda gede) 25 000 per setengah jam.

+kenalan
-kh abdul muin.suriah nu alumni mbah zubair .
-mbah abd halim.orang suku mandar yg banyak ngomong.
-pak carik rosyid.
-pak kasmuin staf kua.
-haji afif .yang punya krambah..
-pak subur

#selasa 28-06-2011
-solat subuhmdimasjid.
-trus ke rumah haji afif.
-trus menuju krambah haji afif.
-jam 6 sampai jam 8 berenang bersama taufik melihat panora laut larimun.
-jam 08 30 pulang kerumah haji afif tuk makan.
-lalu menuju home stay milok kh muin.
-jam 11 00 kapal brangkat.
-jam 13 50 ssmpai jepara.
-lalu kerumah taufik.
-jam 16 00 diantar h doli dan kakaknya arwani kesemarang.
-mampir ke rikza.
-jam 18 00 ketemu H musbihin supir tuk diantar ke berjan.
-Jam 12 malam sampai berjan.alhamdulillah
Maaf buletin himma untuk hikmah ini belum jadi desainnya jagi belum bisa didownload nanti kalau sudah jadi akan saya tampilkan disini biar bisa dicetak oleh temen-temen semua.

HIKMAH IBNU ‘ATHOILLAH KE-10

الأعمال صور قائمة وأرواحها وجود سر الإخلاص فيها

"Amal-amal dhohir itu ibarat gambaran-gambaran yang berdiri, sedangkan keikhlasan adalah ruh yang terwujud di dalamnya"



a.   Penjelasan .
Hikmah ini merupakan penyempurna dari Hikmah yang telah lewat sebelumnya yang berbunyi: "Bermacam-macam jenisnya amal karena bermacam-macam tujuannya".
Di dalam Hikmah ini Ibnu 'Atha'illah mencoba mengulas tentang pentingnya Ikhlas. Setelah kita mengetahui bahwa amal-amal yang dilakukan seorang muslim untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT tidak hanya terbatas pada hal-hal yang wajib, melainkan mencakup semua hal yang bisa memberi manfaat dan maslahah kepada individu maupun masyarakat. Dan setelah kita mengerti bahwa Allah membagi amal-amal tersebut kepada para hamba-Nya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas mereka, maka Ibnu 'Atha'illah mengingatkan kita melalui hikmah ini, bahwa untuk mencapai ridla Allah SWT, amal-amal ini di syaratkan harus di lakukan dengan ikhlas tanpa tercampur dengan tujuan-tujuan lain kecuali hanya mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Untuk mengetahui makna hikmah ini kita harus mengerti bahwa setiap ibadah yang dilakukan oleh setiap muslim untuk mencapai ridla Allah SWT itu tersusun dari dua komponen, yaitu amal dan tujuan (Qasdu). Sehingga amal ibadah yang baik dan bermanfaat secara dhahirnya. Akan tetapi tidak ada niat mencari ridla Allah SWT, maka amal tersebut tidak ada harganya. Sedangkan niat yang baik tanpa di wujudkan dengan amal ibadah, maka niat tersebut tidak ada harganya di dalam kebanyakan hal. Dalam masalah yang kedua ini, masalah niat yang tidak diimplementasikan dengan ‘amal, kami selalu menambahi dengan kata “ dalam banyak hal dan kesempatan “. Hal ini di karenakan niat yang baik dan benar-benar hanya kerena Allah SWT tanpa di wujudkan dengan amal terkadang bisa bernilai, semisal ketika seseorang tidak mampu melakukannya. Contohnya adalah orang miskin yang berniat untuk shadaqah, hanya saja dia tidak mampu melakukannya, karena tidak memiliki uang dan harta, atau ada orang yang membutuhkan bantuan berupa pertolongan yang bersifat ma’nawi, semisal melayani, menjaga, menangkal mara bahaya atas diri seseorang sedang ia tidak mampu untuk melakukan semua itu, karena tidak memiliki kekuatan untuk melakukan.

b. Dalil.
Surat Al-Furqan ayat ke-23
وَقَدِمْنَا إِلَى مَا عَمِلُوا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنَاهُ هَبَاءً مَنْثُورًا.
Artinya:
“ Dan kami hadapi segala amal yang mereka kerjakan, lalu kami jadikan amal itu (bagaikan) debu yang berterbangan”.
Dari ayat di atas, kita bisa mengambil sebuah makna bahwa amal ibadah itu harus di sertai dengan Ikhlas. Hal ini di karenakan amal perbuatan orang-orang yang berdosa dan amal ibadah yang di lakukan dengan ikhlas itu di ibaratkan seperti debu yang tertiup oleh angin, atau nama lainnya adalah amal yang sia-sia dan batil.

c. Aplikasi.
Jika kita melihat realita disekeliling kita maka akan banyak sekali kita temukan dalam kehidupan masyarakat mengenai amal-amal yang tidak di dasari rasa Ikhlas.
Diantaranya adalah ada seseorang yang banyak menanggung hutang. Ketika tiba waktu pelunasan dia melihat orang yang menghutanginya sedang menuju kepadanya dari jauh. Sehingga dia bergegas menuju masjid yang terdekat dan melakukan rantaian shalat sunnah yang banyak. Tidak bisa diragukan lagi bahwa dia melakukan shalat bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, melainkan semata-mata hanya ingin lari dan terbebas dari tagihan hutang yang telah melilitnya.
Contoh lain adalah, seorang pekerja yang tersibukkan oleh tugasnya di perusahaan, ketika mendengar adzan dhuhur dia bergegas meninggalkan pekerjaannya dengan dalih ingin melakukan shalat dhuhur. Lalu dia berwudlu dengan waktu yang lama dan shalat dengan panjang, kemudian dia mengambil tempat bersandar untuk istirahat,  memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur'an. Tentunya ibadah-ibadah dengan keadaan ini bukanlah termasuk amal-amal yang mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena dia melakukan ibadah-ibadah ini tidak lain hanyalah menjauhi tugasnya agar bisa beristirahat.
Salah satu yang bisa menjadi contoh adalah kelompok jamaah haji. Mereka sepakat untuk saling membantu dan menjaga kemaslahatan yang kembali pada mereka. Diantara mereka ada seseorang yang ingin lari dari pekerjaan dan tugas yang telah dibebankan kepadanya, walaupun seakan-seakan hal tersebut remeh. seperti menghidangkan makanan, mencuci piring atau yang lain. Sehingga diapun menyibukkan diri dengan selalu thawaf, shalat, membaca Al-Qur'an dan berdzikir, jelas sekali sesungguhnya ibadah-ibadah ini dilakukan bukan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, akan tetapi agar bisa terbebas dari pekerjaan-pekerjaan yang dibebankan padanya.
Ada sebagian orang yang sibuk dalam sebuah pergerakan yang menurut persepsi dia dianggap sebagai satu bentuk khidmah bagi Islam dan Dakwah Islamiyah, padahal dalam hatinya ia mengatakan bahwa semua kegiatan yang ia lakukan semata hanya untuk memperoleh keuntungan duniawi belaka, baik yang berupa pangkat, harta ataupun posisi yang strategis secara politik, hal itu terbukti secara lahir bahwa jika ia tidak melakukan shalat subuh kecuali matahari telah terbit diufuk timur. Akan tetapi jika ada orang yang datang mengingatkannya, ia malah berkata dengan bangga dan congkaknya: “ allah telah menempatkanku dalam posisi dakwah dan melayani islam, bukan dalam ibadah, membaca Al-Qur’an ataupun Aurad “. Jelas yang ia lakukan adalah salah, karena dakwah yang ia lakukan tidak disertai dengan keikhlasan.
Ada pula sebagian kawan kita yang pekerjaannya adalah sebagai pedagang atau karyawan sebuah perusahaan. Ia semangat sekali dalam melakukan semua pekerjaan diatas, sampai ia lupa akan semua tugas-tugas kegamaan yang menjadi tanggungannya, kecuali hal-hal yang merupakan rukun dan fardlu yang pokok baginya. Suatu saat ada orang yang mengingatkan padanya tentang kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas keagamaannya yang telah terlupakan olehnya, maka ia pun menjawab dengan ketus “ engkau sendiri kan yang bilang bahwa Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia, sedang Allah SWT sekarang sedang menempatkan aku pada satu bentuk amal yang berupa pekerjaan dagang yang aku geluti, jadi ini pun juga merupakan sebuah ibadah “. Ungkapan ini pun tidak benar dan tepat dalam menginterpretasikan hikmah Ibnu ‘Athoillah diatas, semua amal yang ia lakukan pun juga tidak bisa masuk dalam kategori amal yang sholih, karena ia tidak melakukan usaha perdagangannya atau yang lain dengan niatan hanya karena Allah semata, akan tatapi ucapan tadi adalah sebuah usaha yang tersembunyi dibalik kedok hawa nafsunya sendiri dan mengorbankan semua perintah dan larangan Allah SWT.
b. Kesimpulan.
Intisari dari keterangan di atas adalah kita harus mengetahui dan tidak boleh lupa bahwa amal-amal shaleh yang diperintahkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya di dalam Al-Qur'an tidak hanya terbatas pada perkara-perkara yang wajib dan rukun Islam, akan tetapi amal shaleh itu juga mencakup semua hal yang bisa mewujudkan kemaslahatan. Baik kemaslahatan individu maupun kemaslahatan sosial.
Adapun kemaslahatan-kemaslahatan ini harus di jaga sesuai dengan urutan-urutan yang telah di tetapkan syara', yaitu di awali dengan mendahulukan kemaslahatan agama (Hifdhu Diin), kemudian kemaslahatan hidup (hifdhu nafsi), lalu kemaslahatan akal (hifdhu 'aqli), kemudian kemaslahatan keturunan (hifdhu nasab) dan terakhir adalah kemaslahatan harta (hifdhu mal).
Jadi semua hal-hal tersebut merupakan ibadah-ibadah yang dilakukan seorang muslim untuk mewujudkan makna Ubudiyyah kepada Allah SWT.
Dan perlu kita ingat bahwa di dalam ummat Islam pasti akan selalu terdapat segolongan yang benar dan Ikhlas didalam beribadah, dan mereka tidak mendapatkan madlarat dari orang-orang yang menentangnya. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :
لا تزال طائفة من أمتي ظاهرين على الحق لا يضرهم من خالفهم حتى يأتي أمر الله وهم ظاهرون. (متفق عليه)
Artinya: :
"
Di dalam umatku selalu ada golongan yang memperlihatkan kebenaran dan tidak mendapatkan bahaya dari orang-orang yang menentangnya sampai datang hari Qiamat sedangkan mereka dalam kebenaran".
          Semoga kita termasuk bagian dari golongan diatas tadi, semoga. Amin. Wa allahu a’lam bis showab.
Hal Depan
Hal Belakang
Buletin Himma (Himpunan Mitakhorrijin Mutakhorrijat al-Anwar) Cabang Pekalongan

Himah ke 9 ini juga saya buat buletin yang dibagikan kepada alumni-alumni pp al anwar yang ada di pekalongan bagi kerabat-kerabat yang ingin ikut mencetaknya silakan klik gambar lalu simpan dan bisa anda diprint


HIKMAH IBNU ATHO’ILLAH KE-9
تنوعت أجناس الأعمال بتنوع واردات الأحوال
"Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia"
Uraian
Manusia memiliki kondisi (keadaan) yang berbeda-beda. Keadaan seorang manusia belum tentu sama dengan keadaan manusia yang lain. Secara spesifik, keadaan tersebut terbagi menjadi dua macam. Pertama; keadaan hati (al-Ahwal an-Nafsiyyah), kedua : keadaan sosial ( al-Ahwal al-Ijtima'iyyah).
a.     Ahwal Nafsiyyah
Yang dimaksud dengan keadaan hati di sini adalah suatu ibarat dari perasaan yang masuk (lewat) dalam diri manusia dan tidak menetap. Perasaan tersebut datang dari hasil berfikir dan berangan-angan terhadap sifat dan nama-nama Allah yang baik (Al-Asma' Al-Husna). Sifat-sifat itulah yang mempengaruhi dan mendorong untuk melakukan amal-amal yang sesuai dengan dirinya. Perasaan tersebut juga bisa ditimbulkan oleh keadaan masa lalu seseorang yang gelap dan bergelimang dalam maksiat. Perasaan salah ini akan menambah rasa takut manusia akan siksa Allah dan rasa sakit ketika ingat masa lalunya di sisi Allah SWT.
Sebagian orang shalih misalnya, ada yang selalu bersikap ramah, dermawan, berbuat baik, dan selalu memaafkan. Semua sikap tersebut bersumber dari selalu mengingat sifat-sifat jamal (keindahan) dari Al-Asma' Al-Husna. Oleh karena itu, dia selalu melakukan amal shalih yang berlandaskan atas prasangka baik terhadap Allah (husnudzan billah). Sehingga ketika dia mengingatkan manusia kepada Allah SWT mereka selalu mengingatkan akan besarnya anugerah, pemberian nikmat dan ampunan-Nya.
Sebagian mereka juga ada yang selalu dihinggapi perasaan takut karena yang selalu dia pikir adalah sifat-sifat jalalullah (keagungan Allah) seperti al-Qahhar, al-Muntaqim. Maka mereka akan beramal menurut perasaan takut ini, khususnya bagi mereka yang mempunyai masa lalu kelam.
Perbedaan-perbedaan inilah yang dimaksud dengan kondisi manusia (ahwal). Kondisi tersebut datang kepada manusia, kemudian menetap (bisa lama dan bisa sebentar).
Di sini perlu kita jelaskan perbedaan para auliyaillah yang menunjukkan bahwa mereka berbeda-beda dalam amalnya karena keadaan hati mereka yang berbeda-beda. Di antara mereka misalnya :
a.     Fudlail Ibnu Iyadh
Diceritakan bahwa suatu ketika dia wukuf di Arafah bersama orang-orang yang haji. Namun dia tidak berdo'a dan berdzikir sebagai-mana yang dilakukan jamaah haji lain. Dia hanya ingat terhadap masa lalunya yang gelap, sehingga lupa untuk berdo'a dan berdzikir. Dia tak pernah terdengar berdo'a. Imam Fudlail hanya menaruh tangan kanannya, ditempelkan ke pipinya dan menundukkan kepala seraya menangis. Hal ini yang dilakukan-nya sepanjang hari Arafah, dan ketika sudah sore (sudah waktunya berangkat) dia berdoa serasa me-ngangkat tangan "Oh..alangkah jeleknya diriku walaupun Tuan telah mengampuniku."
b.     Ma'ruf Al-Khurkhi
Suatu ketika Imam Ma'ruf Al-Kharkhi berpuasa, lalu dia mendengar orang yang memberi sadaqah minuman berkata : "Semoga Allah memberi rahmat orang yang mau minum dariku". Kemudian dia mendatangi orang tersebut dan minum darinya. Ketika ditanya "Bukankah engkau berpuasa?", dia menjawab : "Ya, tetapi saya mengharap do'a orang tersebut".
Apa yang dilakukan dua wali tersebut bisa jadi mendapat kritik dari orang yang tidak paham nasehat Ibnu Atha'illah di atas.
Memang amal yang sesuai dengan keadaan Fudlai Ibnu Iyadh ketika wukuf di Arafah adalah menundukkan kepala dan merasa malu kepada Allah SWT, karena dia teringat kedaan masa lalunya yang selalu jauh dari Allah SWT. Jadi tidak perlu dipungkiri lagi bahwa pahala Imam Fudlail sama dengan pahala orang yang berdo'a dan dzikirnya wukuf di Arafah.
Imam Ma'ruf Al-Kurkhi juga demikian. Ketika dia mendengar orang yang memberi minum berkata: "Semoga Allah memberi rahmat orang orang yang mau minum dariku". Lalu dia minum air darinya dan membatalkan puasanya. Hal tersebut tidak lain karena Al-Kurkhi berharap semoga Allah memasukkannya termasuk orang yang mendapat rahmat-Nya. Jadi tidak boleh dikatakan bahwa yang dilakukan Imam Ma'ruf itu tidak sesuai dengan pendapat sebagian ulama' fiqih, bahwa amal sunnah itu jika sudah dikerjakan, maka wajib untuk diteruskan dan tidak boleh dipotong. Karena konteks di sini adalah masalah hukum ijtihadi. Sebagaimana ulama' fiqih boleh berijtihad maka begitu juga Imam Ma'ruf berhak untuk berpendapat bahwa yang baik baginya adalah membatalkan puasa.
Jika kita telah mengetahui apa yang dimaksud hikmah Ibnu 'Atha'illah dengan berbagai contoh di atas, maka kita pasti tidak akan berani untuk menyalahkan dan menghina para Auliya’, Ulama’ dan  As-Shalihin. Terkadang kita melihat apa yang dikerjakan mereka dari segi dhahirnya itu menyalahi syari'at, namun dari segi batinnya apa yang mereka kerjakan adalah benar karena memang itu yang cocok dengan keadaan perasaan hati mereka dan jika diteliti sebenarnya tidak bertentangan dengan syariat, hanya saja cara memahami dan metodologinya yang berbeda.
b.     Ahwal Ijtima'iyyah
Di sini kami kemukakan beberapa contoh yang memudahkan kita untuk memahami perbedaan amal karena beda-bedanya keadaan status sosial masyarakat.
1.   Orang yang belum menikah tidak memiliki tanggung jawab kecuali pada dirinya sendiri. Oleh karena itu amal yang sesuai dengan dirinya adalah amal-amal yang bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Setelah mengerjakan amal wajib, maka yang perlu dilakukan adalah mengosong-kan waktu untuk menambah ibadah-ibadahnya.
2.   Orang yang telah menikah, maka dia memiliki tanggung jawab yang lebih, yaitu pada dirinya sendiri dan keluarganya. Dia harus bisa adil dan seimbang antara mengurusi keluarga dan beribadah kepada Allah. Dia harus mengetahui bahwa usahanya dalam mencukupi kebutuhan keluarga merupakan amal ibadah yang bisa mendekatkan diri kepada Allah, termasuk di antaranya adalah duduk dan berkumpul bersama keluarga, supaya tercipta suasana kasih sayang dan harmonis. Selain bertanggung jawab kepada keluarga, dia juga tidak boleh melupakan kewajibannya sendiri, yaitu beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah sebagaimana yang dia kerjakan sebelum menikah. Hal ini bukan berarti ‘menduakan’ Allah, karena pada dasarnya bertanggung jawab kepada keluarga juga perintah Allah swt.
3.   Seseorang yang bekerja di suatu pabrik atau kantor, amal yang bisa mendekatkan dirinya kepada Allah (setelah amal wajib) adalah tekun bekerja sebagaimana yang telah ditugaskan dan diamanatkan dari perusahaan dan atasannya. Artinya seluruh jam kerja yang telah ditetapkan harus digunakan untuk bekerja, kecuali hanya beberapa menit untuk melaksanakan shalat fardlu. Oleh karena itu, dia tidak boleh menggunakan waktu satu menit pun untuk melaksanakan amal sunnah seperti membaca Al-Qur'an dan mempelajari ilmu syari'at yang bukan kewajibannya. Sekarang ini ada sebagian pekerja yang sengaja mengulur-ulur waktu dengan memperlama wudlu dan shalatnya. Mereka berasumsi bahwa pekerjaan tersebut bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah. Sungguh sangat keliru alasan tersebut, karena mereka telah menggunakan waktu yang bukan miliknya. Waktu yang dia gunakan adalah milik pabrik. Dia harus mengetahui bahwa pahala yang disiapkan Allah sebagai imbalannya dalam menjalankan tugas tersebut tidak akan kurang dari pahala ibadah dan amal yang dilakukan orang-orang yang berdzikir dan membaca Al-Qur'an.
4.   Orang yang memiliki kekua-saan, maka yang harus dia kerjakan adalah melayani masyarakat, menjaga hak-hak dan menjaga keamanan rakyatnya. Kita tidak boleh beranggapan bahwa apa yang menjadi tugasnya itu bukan amal ibadah. Apa yang dikerjakan tersebut dapat menjadi amal ibadah jika memang didasari ridla kepada Allah dan yang perlu diperhatikan, pejabat tersebut juga tidak boleh meninggalkan kewajiban-kewajiban serta rukun-rukun Islam.
Kesimpulan
Allah telah memberikan kekuatan yang berbeda-beda untuk melaksanakan ibadah dan amal yang juga berbeda-beda. Konsekuensinya, setiap individu harus melakukan amal yang sesuai dengan kemampuan dan kekuatannya.
Kadang ada orang yang tidak memiliki kemampuan sedikitpun, namun dia sangat giat dan senang untuk menolong masyarakat dan memenuhi kebutuhan mereka, maka pekerjaanya itu adalah amal ibadah yang menjadi kewajibannya dan telah dibebankan oleh Allah kepadanya.
Dengan demikian maka amal setiap manusia tidak harus melakukan amal yang sama dengan manusia yang lain. Allah telah menentukan amal apa yang sesuai dengan masing-masing individu, sehingga jelaslah apa yang dimaksud dengan hikmah Ibnu 'Atha'illah di atas. Wallahua’lam.
Hikmah 3 dari Kitab Hikam

سوابق الههم لا تخرق أسوار الأقدار

“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”

 1. Penjelasan

Etika yang harus dilakukan dalam maqam asbab adalah percaya akan takdir Allah. Etika ini sangat urgen untuk di pegang oleh salik yang ingin selamat dari kesesatan. Karena sebesar apapun usaha salik pasti tidak akan keluar dari takdir Allah. Oleh karena itu Ibnu Atha'illah menjelaskan dengan kata hikmahnya :

“Semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah”.

"Semangat" disini adalah kemauan keras yang diberikan Allah kepada manusia untuk menghadapi kehidupan mereka seperti kerja, mengajar, dan sebagainya. Kemauan atau semangat keras yang diberikan Allah kepada manusia tersebut tidak akan mampu menembus dinding takdir Allah. Ibnu Atha'illah menyerupakan Qadar (takdir Allah) dengan dinding kokoh yang membentengi suatu negara. Jika ada seorang musuh yang ingin menghancurkan dinding tersebut maka dia tidak akan berhasil. Begitu juga manusia, dia tidak akan mampu membatalkan takdir Allah dengan kemauan dan semangat kerasnya tersebut.
Intisari makna kata hikmah Ibnu Atha'illah adalah lakukanlah asbab (bekerja) sesuai kemampuanmu, namun ketahuilah bahwa asbab yang kamu kerjakan walaupun disertai kemauan keras dan efektifitas akan menjadi sirna jika berhalangan dengaan Qadla’ dan hukum Allah yang telah digariskan.

Perlu kita ketahui bahwa Qadla' dan Qadar itu memiliki arti yang berbeda. Qadla' adalah ilmu Allah pada zaman azali dengan segala sesuatu yang akan terjadi, sedangkan Qadar adalah terjadinya sesuatu hal sesuai dengan ilmu Allah pada zaman azali tadi. Kemudian Qadla' yang namanya berubah menjadi Qadar ketika telah terealisasi, ada kalanya hanya Allah-lah sebagai pemegang kendali (kehendak manusia tidak ikut andil) seperti datangnya musibah dan bencana alam. Dan ada kalanya Qadla' Qadar terjadi atas kehendak Allah tetapi manusia memiliki andil di dalamnya seperti bekerja dan beribadah. Walaupun keduanya berbeda namun keduanya termasuk dalam Qadla' dan Qadar Allah SWT. Karena kesemuanya bekerja sesuai ilmu dan penciptaan Allah. Oleh karena itu segala sesuatu yang tunduk di bawah Qadla' dan Qadar Allah tidak ada hubungannya dengan ikhtiyar (usaha) dan idltirar (keterpaksaan) manusia.

2. Dalil
1. Al-Qur’an surat al-Dzariyyat : 58
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ
Artinya :
58. Sesungguhnya Allah dialah Maha pemberi rezki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.

Dan juga surat Al-Ankabut : 17
...فَابْتَغُوا عِنْدَ اللَّهِ الرِّزْقَ وَاعْبُدُوهُ وَاشْكُرُوا لَهُ إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ
Artinya :
17. ...Maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah dia dan bersyukurlah kepada-Nya. Hanya kepada- Nyalah kamu akan dikembalikan.

Serta hadist Nabi :
شرح الأربعين النووية في الأحاديث الصحيحة النبوية - (ج 1 / ص 9
إنَّ أَحَدَكُم يُجْمَعُ خلقُهُ في بَطنِ أُمِّهِ أَربعينَ يَوماً نطفة ، ثمَّ يكونُ عَلَقَةً مِثْلَ ذلكَ ، ثمَّ يكونُ مُضغةً مِثلَ ذلكَ ، ثمَّ يُرسلُ إليه المَلَك ، فيَنْفُخُ فيه الرُّوحَ ويُؤْمَرُ بأربَعِ كلماتٍ  بِكَتْب رِزقه وأجَلِه وعمله ، وشقيٌّ أو سَعيدٌ
Artinya :
Sesungguhnya kejadian kalian di kumpulkan dalam perut ibu selama 40 hari berupa air mani, kemudian berubah menjadi segumpal darah selama 40 hari, kemudian menjadi segumpal daging juga selama 40 hari, lalu Allah mengirim malaikat untuk meniupkan ruh dan di perintah agar menulis 4 perkara yaitu rizqinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau beruntung.

Dari ketiga dalil diatas bisa kita ketahui bahwa rizqi telah digariskan dalam ilmu Allah dan masuk dalam genggaman Qadla'-Nya. Segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali telah tergaris dalam ilmu-Nya. Adapun kesungguhan dan kerja keras kita hanyalah sebagai pelayan bagi segala sesuatu yang telah termaktub (tertulis) dalam Qadla' dan hukum Allah dan juga sebagai pelayan bagi Qadar yang realisasinya pasti sesuai dengan ilmu dan Qadla'-Nya.

2. Al-Qur’an surat Al-Baqarah : 255
اللَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لَا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلَا نَوْمٌ لَهُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ مَنْ ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلَّا بِإِذْنِهِ يَعْلَمُ مَا بَيْنَ أَيْدِيهِمْ وَمَا خَلْفَهُمْ وَلَا يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِنْ عِلْمِهِ إِلَّا بِمَا شَاءَ وَسِعَ كُرْسِيُّهُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَلَا يَئُودُهُ حِفْظُهُمَا وَهُوَ الْعَلِيُّ الْعَظِيمُ
Artinya :
255. Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya. Kursi Allah meliputi langit dan bumi. dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.

Allah mensifati Dzat-Nya dengan Al-Qoyyum yang artinya Dzat yang mengurusi segala urusan untuk selama-lamanya. Jadi tidak ada satu makhluk yang bergerak atau memberi pengaruh kecuali dengan tindakan langsung dari Allah SWT.

3. Al-Qur’an surat Al-Rum : 25
وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ تَقُومَ السَّمَاءُ وَالْأَرْضُ بِأَمْرِهِ ثُمَّ إِذَا دَعَاكُمْ دَعْوَةً مِنَ الْأَرْضِ إِذَا أَنْتُمْ تَخْرُجُونَ
Artinya :
25. Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah berdirinya langit dan bumi dengan iradat-Nya. Kemudian apabila dia memanggil kamu sekali panggil dari bumi, seketika itu (juga) kamu keluar (dari kubur).

Jadi bergeraknya Afaq (cakrawala) bumi dan apa saja yang ada di dalamnya tergantung dari rahmat Allah. Perlu kita ketahui, ayat di atas menggunakan kalimah “
تقوم ” yaitu fi'il mudlari’ yang menunjukkan zaman al-istimror (selama-lamanya dan terus-menerus). Segala sesuatu yang kita lihat baik berupa gerakan maupun perubahan, besar maupun kecil tidak akan sempurna tanpa kekuasaan dan perintah Allah SWT. Lalu (dengan penetapan ini) apakah ada yang mengatur segala sesuatu selain Allah?

4. Al-Qur’an surat Al-Fatir : 41
إِنَّ اللَّهَ يُمْسِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ أَنْ تَزُولَا وَلَئِنْ زَالَتَا إِنْ أَمْسَكَهُمَا مِنْ أَحَدٍ مِنْ بَعْدِهِ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا
Artinya :
41. Sesungguhnya Allah menahan langit dan bumi supaya jangan lenyap; dan sungguh jika keduanya akan lenyap tidak ada seorangpun yang dapat menahan keduanya selain Allah. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.

Perhatikanlah ayat di atas, Allah memberikan redaksi dengan kalimah “
يمسك” yaitu fiil mudlari’ yang juga bermakna zaman Al-istimror. Ayat di atas menjelaskan bahwa langit dan bumi bisa teratur dari waktu ke waktu karena aturan dan hukum Allah. Seandainya satu detik saja Allah tidak mengaturnya maka segala sesuatu pasti akan hancur dan tentunya sangat jauh apabila ada makhluk atau penyebab lain yang menempati posisi Allah sebagai pelaku utama yang mengatur alam ini.

5. Al-Qur’an surat Yasin : 41
وَآَيَةٌ لَهُمْ أَنَّا حَمَلْنَا ذُرِّيَّتَهُمْ فِي الْفُلْكِ الْمَشْحُونِ
Artinya :
41. Dan suatu tanda (kebesaran Allah yang besar) bagi mereka adalah bahwa kami angkut keturunan mereka dalam bahtera yang penuh muatan.

Jika memang perahu yang mengarungi gelombang laut itu adalah pelaku pengangkutan yang berpotensi dan mandiri, lalu kenapa Allah menisbatkan (menyandarkan) pekerjan mengangkut manusia di atas kapal kepada Dzat-Nya sendiri, dan tidak menisbatkannya pada kapal yang lahirnya memiliki kekuatan tersendiri?.
Ayat di atas dengan jelas menjelaskan bahwa yang mengangkut kapal dan manusia di dalamnya adalah Allah. Dengan demikian sirnalah kesalah pahaman dan benarlah bahwa al-Sababiyyah al-Haqiqiyyah (penyebab haqiqi) dalam pengangkutan hanyalah Allah SWT.

3. Aplikasi


a. Contoh
1) Kehidupan masyarakat
Banyak sekali cara yang dilakukan orang demi memperoleh rizqi. Namun setelah diteliti cara-cara tersebut tidak disyari'atkan (diperbolehkan) oleh agama. Suatu ketika ada orang yang menasehatinya agar menjauhi dan tidak melakukan cara tersebut karena tidak sesuai dengan syari'at. Lalu orang tersebut malah mencacinya dengan mengatakan : Sebenarnya cara yang saya kerjakan dalam mencari rizqi itu disyari'atkan dan diperintahkan, selain itu Allah juga tidak menyukai orang-orang yang malas dan tidak mau bekerja. Orang tersebut juga kadang membantah dengan mengatakan : Saya menjalankan kata hikmah dari Ibnu 'Atha'illah. Sesungguhnya Allah telah menempatkanku pada maqam asbab, lalu kenapa saya tidak boleh bekerja dengan caraku.

Fenomena di atas hanya dapat kita tepis dengan hikmah Ibnu 'Atha'illah bahwa semangat yang tinggi tidak akan mampu menembus dinding-dinding takdir Allah. Ketika kita merasa bahwa diri kita berada di daerah yang dipenuhi dengan keharaman-keharaman dan kita ikut terseret untuk melakukan dosa, maka kita harus menjauhkan tangan kita dari pekerjaan dan perdagangan itu. Kita juga harus pindah tempat yang di situ tidak ada maksiat dan dosa seperti tempat pertama. Jika syaitan membisiki kita dengan berkata : Cara yang kamu kerjakan itu telah ditakdirkan oleh Allah, lalu apakah kamu akan mendapatkan ganti jika kamu tidak bekerja?. Maka kita harus menjawabnya : Dari mana argumen bahwa pekerjaan dan rutinitasku di daerah tersebut adalah sumber rizqiku yang menjadi penyebab kenikmatan dan kehidupanku?, Dan bagaimana argumen tersebut harus aku terima padahal aku akan selalu hidup sebagaimana firman Allah bahwa hanya Allah-lah yang memberi rizqi.

Kita juga harus menepis syaitan dengan jawaban : Jika memang Allah telah menakdirkan saya kaya, maka hal itu pasti akan terwujud di manapun saya pergi. Dan jika Allah menakdirkan diri saya miskin, maka hal itu juga akan terwujud walaupun saya telah bekerja keras dan pergi ke semua daerah untuk bekerja.

Sebagian orang juga terkadang berasumsi dengan mengatakan : Lalu apa gunanya bekerja jika memang hal itu tidak bisa merubah takdir Allah. Dan apa gunanya pergi ke penjuru daerah untuk mencari rizqi jika telah di gariskan Allah SWT?

Jawabannya adalah dalam bekerja kita itu berada pada salah satu posisi. Posisi pertama adalah jika bekerja itu terasa jauh dan tidak bisa mendorong semangat dan kerja keras kita. Jika kita berada dalam posisi ini, maka berarti kita berada pada maqam tajrid dan yang harus kita lakukan adalah pasrah serta menjauhi pekerjaan tadi.

Posisi kedua adalah jika bekerja itu ada di depan kita, maka kita harus menerima dan melakukannya. Tapi bukan karena bekerja itu memiliki kekuatan dan mampu melawan Qadla' dan Qadar Allah, melainkan karena Allah telah menempatkan kita pada maqam asbab dan memerintahkan kita untuk menjalankannya. Kita juga harus yakin bahwa yang menjadikan kita hidup adalah kehendak dan hukum Allah bukan pekerjaan yang kita lakukan tadi. Jadi pekerjaan yang kita tekuni hanyalah rutinitas yang telah ditempatkan dan diperintahkan oleh Allah kepada kita. Pada hakikatnya kita bisa hidup adalah dari Allah, bukan dari pekerjaan kita.

Sebagian orang Islam juga terkadang meyakini bahwa di dalam suatu perkara (seperti air, api, makanan) itu memiliki kekuatan atau potensi yang terpendam di dalamnya. Jadi dengan potensi tersebut perkara tadi bisa memberi atsar (efek) pada kita. Jika kita juga merasakan keyakinan tersebut, maka kita harus ingat akidah keimanan kita bahwa sebenarnya Allah-lah yang memberi kekuatan pada perkara tersebut, sehingga perkara tadi bisa memberi manfaat pada kita.

Kita juga harus meyakini bahwa Allah itu satu Dzat-Nya. Maka tidak ada Tuhan dalam alam semesta ini kecuali Dia. Allah juga satu sifat-Nya, dan Allah juga satu pekerjaan-Nya, maka tidak ada satu makhluk di dunia ini yang iktu campur dalam pekerjaan Allah, karena Allah adalah satu-satunya Dzat pencipta.

Jika ada orang yang meyakini bahwa di dalam api itu ada kekuatan mambakar yang dititipkan Allah di dalamnya kemudian Allah meninggalkannya. Lalu dengan kekuatan ini api bisa membakar dengan sendirinya. Maka orang tersebut berarti menetapkan bahwa dalam suatu perkara ada kekuatan (selain kekuatan Allah) yang ikut andil dalam mengatur sesuatu. Dengan demikian orang tersebut telah menyekutukan Allah, dan keluar dari jalan yang lurus.

2) Cerita sayyidah Maryam

sesungguhnya pekerjaan yang kita lakukan hanyalah menuruti perintah dan aturan yang telah ditetapkan Allah pada semua makhluk. Kita diperintahkan untuk makan, minum dan berobat jika kita lapar, haus, dan sakit. Kita juga diperintah agar waspada pada penyakit dan musibah. Keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah harus ditancapkan dalam diri kita. Hanya Allah-lah yang menciptakan segala sesuatu dan tidak ada pengaruh kecuali dari hukum-Nya. Allah SWT telah berfirman dalam surat Al-A'raf : 54 :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُغْشِي اللَّيْلَ النَّهَارَ يَطْلُبُهُ حَثِيثًا وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالنُّجُومَ مُسَخَّرَاتٍ بِأَمْرِهِ أَلَا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ تَبَارَكَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ</div>
Artinya :
54. Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang Telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu dia bersemayam di atas 'Arsy[548]. dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam.


Allah memerintahkan kita untuk mengerjakan pekerjaan, di sisi lain Allah juga memerintahkan pada kita untuk meyakini bahwa semangat yang kuat tidak mampu menembus dinding-dinding takdir.

Syari’at (aturan) yang dibebankan Allah dan keyakinan yang diajarkan-Nya (pelaku hakiki hanyalah Allah) teraplikasikan dalam khitabNya kepada Sayyidah Maryam ketika bersandar pada pohon kurma dalam keadaan hamil. Allah berfirman di dalam surat Maryam : 25 :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ تُسَاقِطْ عَلَيْكِ رُطَبًا جَنِيًّا
Artinya :
25. Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu, niscaya pohon itu akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu,


Pohon yang disandari Sayyidah Maryam adalah pohon kurma yang sudah tua dan tentunya tidak berbuah lagi. Namun seketika itu pula Allah menumbuhkan buah kurma yang masih segar. Tidak perlu diragukan lagi bahwa Allah sangat mampu sekali untuk menurunkan buah kurma dalam pangkuan Sayyidah Maryam tanpa harus memerintahkan Sayyidah Maryam untuk menggoyang pohon kurma tersebut. Namun Allah ingin mengajarkan aturan dan syari’at kepada manusia. Oleh karena itu Allah berfirman :
وَهُزِّي إِلَيْكِ بِجِذْعِ النَّخْلَةِ ...
Artinya :
"Dan goyanglah pangkal pohon kurma itu ke arahmu"

Dengan demikian kita tahu bahwa yang menciptakan kurma adalah Allah, namun Allah mengajarkan sebab demi turunnya buah kurma yaitu dengan menggoyang pohonnya.

b. Efek Edukasi

Marilah kita melihat education efec (pengaruh edukasi) dengan melakukan asbab (pekerjaaan), namun didasari keyakinan bahwa tidak ada pelaku selain Allah dan segala sesuatu pasti tunduk pada Qadar Allah, maka kita akan menemukan efek yang baik pada diri manusia serta akan membentuk jiwa dan pikiran yang sehat.

Jika usaha kita yang berada di bawah Qadla' dan Qadar Allah, telah menghasilkan cita-cita kita, maka kita akan yakin bahwa anugerah ini adalah pemberian Allah SWT dan dari sinilah kita harus banyak bersyukur dan memuji Allah SWT. Sebaliknya, jika cita-cita kita belum terwujud maka kita menyadari bahwa semuanya telah menjadi takdir Allah. Oleh karena itu kita tidak akan kebingungan dalam menghadapi kehidupan ini dan kita tidak akan mengandai-andai bahwa jika kita melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, dan jika kita melakukan seperti apa yang dilakukan seseorang niscaya kita akan sukses seperti mereka.

Fenomena di atas telah meracuni sebagian manusia yang mengakibatkan mereka stress dan hidup dalam kesedihan. Namun seorang mukmin yang patuh pada hukum-hukum syar’i serta dilandasi keyakinan pada qadla ilahi pasti akan selamat dari musibah dan penyakit ini. Karena mereka tahu bahwa ini semua terjadi atas kehendak Allah. Dengan percaya dan ridla atas kehendakNya, maka mereka semakin tenang dan yakin bahwa kehendak Allah tersebut adalah yang terbaik bagi mereka.
Pada akhirnya kita akan tunduk dan menjalankan wasiat Nabi Muhammad SAW, yaitu :
استعن بالله ولاتعجز وان أصابك شئ فلا تقل لو أني فعلت كذا لكان كذا, فان لو تفتح عمل الش¡0;طان ولكن قل قدر الله وما شاء فعل. (رواه مسلم)
Artinya :
Mintalah pertolongan pada Allah dan janganlah lemah, jika kamu tertimpa sesuatu janganlah kamu mengatakan bahwa sendainya saya melakukan seperti ini niscaya tidak akan terjadi seperti ini, karena mengandai-andai itu akan membuka pintu sayetan. Akan tetapi katakanlah bahwa Allah telah menakdirkan seperti ini dan Allah berhak untuk melakukan apa saja yang Dia inginkan.

Kita juga harus tahu bahwa dengan adanya Qadla' dan Qadar Allah bukan berarti kita tidak memiliki ikhtiyar (usaha), karena masalah Qadla' dan Qadar itu tidak ada hubungannya dengan ada atau tidaknya usaha manusia. Inilah hal yang perlu kita perhatikan dan janganlah kita tertipu oleh asumsi sebagian manusia dalam memahami makna Qadla' dan Qadar. Dengan demikian kita akan selamat dari kesesatan dan hidup dalam penuh kehormatan dan ketenangan.

Hikmah 2 Dari Kitab Hikam

ارادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الاسباب من الشهوة الخفية,
وإرادتك الاسباب مع اقامة الله اياك في التجريد إنحطاط عن الهمة العلية


"Kamu ingin maqam tajrid padahal Allah menempatkanmu di maqam asbab itu termasuk syahwat yang samar, sedang kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari cita luhur"

1. Dalil-Dalil
Mengenai maqam tajrid, terdapat dalam firmannya (dalam surat Al_Muzammil ayat 1-4) :


يَا أَيُّهَا الْمُزَّمِّلُ . قُمِ اللَّيْلَ إِلَّا قَلِيلًا . نِصْفَهُ أَوِ انْقُصْ مِنْهُ قَلِيلًا . أَوْ زِدْ عَلَيْهِ وَرَتِّلِ الْقُرْآَنَ تَرْتِيلًا .


Artinya :
1. Hai orang yang berselimut (Muhammad),
2. Bangunlah (untuk sembahyang) di malam hari, kecuali sedikit (daripadanya),
3. (yaitu) seperduanya atau kurangilah dari seperdua itu sedikit.
4. Atau lebih dari seperdua itu. dan Bacalah Al Quran itu dengan perlahan-lahan.

Mengenai maqam asbab, terdapat dalam firmannya (dalam surat al-Furqan ayat 20) :
بعضكم لبعض فتنة اتصبرون وكان ربك بصيرا وجعلنا
Artinya :
20. dan kami jadikan sebahagian kamu cobaan bagi sebahagian yang lain. maukah kamu bersabar?; dan adalah Tuhanmu Maha Melihat.


2. Penjelasan
a. Maqam Tajrid
Maqam Tajrid adalah dirimu jauh untuk melaksanakan asbab (berinteraksi dengan manusia lain/bekerja) karena posisi dan kondisi mu itu menuntut untuk meninggalkannya.atau bisa di istilahkan Hablun min Allah.

Ciri-cirinya adalah dirimu sudah ada yang menjamin dalam masalah rizqi, sehingga dengan mudah engkau dapat menghindar ke akhirat.


b. Maqam Asbab
adalah selalu di kuasai oleh asbab(cara-cara interaksi dengan sesama), maksudnya di manapun ia bergerak, ia tidak bisa menghindar dari asbab tersebut.atau bisa di istilahkan dengan Hablun min an-nas.

Ciri-cirinya adalah dirimu adalah punya tanggung jawab terhadap kehidupan orang lain, sehingga harus memikirkan keberlangsungan kehidupan mereka.

Bagian pertama dari hikmah ini


إرادتك التجريد مع إقامة الله إياك في الأسباب من الشهوة الخفية...



Artinya:
sedang kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari cita luhur"

Oleh karena itu, yang dituntut oleh Allah SWT pada hambanya adalah melaksanakan segenap perintah-Nya dan meniggalkan segala larangan-Nya dengan memandang posisi dirinya, artinya tidak layak baginya untuk menjalankan asbab dan meninggalkannya dengan sesuka hati, tanpa memikir dan mengangan-angan posisi sebenarnya dirinya, begitu juga sebaliknya.

Untuk lebih jelasnya, akan kami paparkan beberapa contoh padamu. Ada seseorang yang bertanggung jawab keluarga, istri, dan anak-anak. Jadi dia diposisikan agar mencari dan bersusah payah dengan rizqi. Bayangkan, seandainya ia berkata pada dirinya sendiri : "Aku tidak butuh ke pasar, karena aku telah yakin semua rizqi itu telah ditentukan oleh Allah SWT". Kemudian orang itu benar-benar pasrah dan tidak berupaya untuk memperoleh rizqi.

Kami katakan padanya : engkau harus tahu situai dan posisi apa yang sedang Allah SWT tempatkan padamu. Ingatlah sekarang Allah sedang memposisikan dirimu di maqam asbab. Buktinya ia bebankan padamu tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Apabila kau berpaling dari posisi ini, ingat engkau sedang melakukakan ta'at secara lahiriyyah, tetapi sebenarnya kau mengikuti hawa nafsumu, agar kelihatan zuhud dan sufi di mata orang lain. Dan ini adalah kesalahan besar dan bahaya dalam syari'at agama Islam. Adapun metode dan sistem semestinya engkau harus tahu apabila Allah menjadikan dirimu pemimpin keluarga berarti artinya Dia telah memberikan tanggung jawab urusan keluarga padamu. Artinya engkau tidak bisa bermuamalah dengan Allah atas dasar keadaan dirimu sendiri saja, tapi kamu perlu memperhatikan kahidupan istri-istri dan anak-anakmu. Dengan kata lain, apabila engkau menyangka dirimu telah percaya penuh dengan pembagian Allah SWT sehingga kau konsen penuh untuk beribadah dan meninggalkan dunia, lalu kenapa engkau paksa istri dan anakmu untuk menjalankan kepercayaan itu? Dan untuk menjalankan zuhud yang kau inginkan itu?

Katakan pada orang ini : "Allah SWT telah menempatkan di antara dua piringan timbangan syari'atNya. Firman Allah SWT :


وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ الْمِيزَانَ . أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ . وَأَقِيمُوا الْوَزْنَ بِالْقِسْطِ وَلَا تُخْسِرُوا الْمِيزَانَ.



Artinya :
7. Dan Allah Telah meninggikan langit dan dia meletakkan neraca (keadilan).
8. Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu.
9. Dan Tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu.

Ingatlah! hidup ini untuk keluargamu bukan untuk dirimu sendiri, dan yang dapat mengatur perjalanan agamamu adalah ketentuan syari'at-Nya. Sementara syara' menyuruhmu untuk mempersiapkan-semampumu- kehidupan yang layak bagi keluargamu, dan untuk mendidik putra-putrimu lahir dan batin dengan didikan yang baik lagi sempurna. Apabila engkau berpaling dari asbab ini, itu artinya kau telah berbuat buruk dan su'ul-adab kepada allah SWT. Karena kau telah berpaling dari aturan-aturan(SunnatuLlah) yang semestinya. Allah SWT berfirman padamu : metode untuk menjaga keluargamu itu harus menjalankan asbab. Bila kau berkata : "tidak mau. Karena aku ingin murni bersimpuh di hadapanmu, maka Allah berfirman : "Tinggalkan keinginanmu dan lakukan apa yang aku katakana padamu, keluarlah ke pasar, bekerjalah, berdagang dan lakukanlah sesuatu yang membuka jalan rizqimu!.

Dan ingatlah! mematuhi perintah-perintah ini adalah ibadah bagimu, itu adalah tasbih dan tahmidmu.

Yang perlu di perhatikan, ta'at dan ibadah itu tidak tertentu hanya pada amalan-amalan khusus saja, lalu bila tidak melakukan amalan-amalan itu ia di sebut materialistis (bersifat duniawi).

Tapi semua amal kebaikan itu ibadah, apabila ada niat dan tujuan Allah SWT tergantung situasi dan kondisi. Sebagaimana hikmah Ibnu 'Atha'illah :


تنوعت اجناس الأعمال بتنوع واردات الاحوال



Artinya :
"Amal itu bermacam-macam sesuai keadaan manusia"

Oleh karena itu, amal shalih bagi orang yang tidak ada hubungan dengan masyarakat dan jauh dari tanggung jawab(seperti santri) itu adalah ibadah yang kembali pada dirinya seperti sholat, puasa, dzikir dan lain-lain. Adapun ibadah orang yang mempunyai tanggung jawab dalam keluarga politik atau masyarakat, maka amal shalih baginya adalah menjalankan tugas dan tanggung jawabnya dengan semestinya, begitu juga bagi penjaga benteng pertahanan, amal shalih untuknya adalah ikhlas dan benar-benar memperhatikan musuh yang ada di sekelilingnya, begitulah seterusnya. Disini perlu di ingat, bahwa ada ibadah-ibadah yang wajib di laksanakan oleh semua golongan dengan tanpa memandang situasi dan kondisi tertentu, yaitu ibadah-ibadah yang pokok, misalnya shalat fardlu, puasa, ibadah haji serta dzikir-dzikir yang pokok.
Bagian kedua dari hikmah ini


...وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العلية



Artinya :
"…Sedang kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari cita luhur."

Penjelasan
Ada sebagian orang yang sudah tidak memerlukan lagi mencari rizki karena dia tidak mengurusi keluarga dan orang lain dan sudah di anugrahi Allah kecukupan rizki, maka dia harus menggunakan waktunya untuk mencari ilmu, ibadah dan dzikir (mengingat Allah).disini Ibnu Athoillah menyarankan untuk tidak terjun masalah duniawi karena itu akan menurunkannya dari cita-cita luhur


Artinya: Apabila engkau ingin bermalas-malasan karena telah percaya pada hartamu, lalu kamu hanya makan, minum dan tidur sampai kamu mati, ini artinya kahidupanmu seperti hewan. Adapun jika kamu ingin mempelajari agama-Nya dimana karena kamu telah kecukupan dalam segi materi, maka inilah metode terbaik dan paling tepat bagi orang yang memiliki cita-cita luhur. Itu di karenakan ketika Allah SWT menjauhkan dirimu dari tanggung jawab, itu berarti Allah menempatkan dirimu pada maqam tajrid. Maka konsenterasikan fikiranmu untuk mempelajari agama dan syari'at-Nya atau kau berada di antara berisan pasukan perang demi membela agama-Ny, apabila itu memungkinkan.

Apabila orang ini berkata : "Tapi bekerja kan juga ibadah, sesuai dengan firman Allah SWT ……dan sabda Rasul…. ?".
maka ketahuilah! bahwa gejolak jiwa yang menggodanya ini adalah rayuan syaitan dan itu hanyalah penurunan dari derajat yang tinggi sebagaimana pernyataan Ibnu 'Atha'illah.

Jika perkataan ini benar perintah ketuhanan, itu berarti kita akan menyalahkan perbuatan para santri-santri yang mondok diberbagai pondok. Yaitu para pemuda yang di tempatkan Allah pada maqam tajrid dan bebas dari beban asbab lalu mendarmakan hidupnya untuk mempelajari agama Islam dan hukum-hukumnya. Para pemuda-pemuda ini selama belum memiliki beban tanggung jawab keluarga atau masyarakat, dan mereka masih tetap dan semangat belajar ilmu-ilmu agama Islam, maka kita menganggap mereka adalah orang-orang besar dan orang-orang yang lebih di antara manusia,kita mengharap turunnya rahmat Allah bertawassul dengan mereka.

Dari sini kami dapat menyimpulkan bahwa syara' itulah yang menjadi barometer seorang apakah dia ada di maqam tajrid atau asbab?. Apabila sampai melewati ketentuan-ketentua syari'at demi mengikuti keinginan dan kesukaan hatinya, maka akan terjebak dalam kondisi yang disebut syahwat yang samar(الشهوة الخفية), atau turun dari cita-cita tinggi(انحطاط عن الهمة العلية).


3.Contoh-Contoh
Akan saya paparkan beberapa contoh untuk memudahkan mengaplikasikan peraturan-peraturan syari'at :

a.Contoh Pertama
Sekelompok orang bersiap-siap untuk haji, sebagian ada yang terbebas dari tanggung jawab dan berkonsentrasi untuk melaksanakan ibadah dan ta'at. Dan sebagian lain ada yang menjadi dokter yang bertanggung jawab untuk menangani serta mengobati para jamaah haji. Maka orang pertama berada pada maqam yang di sebut Ibnu 'Atha'illah dengan maqam tajrid dan dia di tuntut untuk memperbanyak ibadah, dzikir-dzikir atau banyak-banyak melakukan shalat sunnah. Sedangkan orang nomer dua ada pada maqam yang di sebut maqam asbab, dan dia dituntut untuk mengurusi asbab, Jadi para dokter-dokter itu di suruh untuk memperhatikan kesehatan para pasien yang sedang menjalankan ibadah haji itu.

b. Contoh Kedua
Ada pemuda yang di perintah oleh ayahnya : "Aku akan mengurusi dan memenuhi segala keperluanmu, yang aku kehendaki kamu Cuma konsentrasi mempelajari kitab Allah dan syari'at-Nya!"
Maka santri ini oleh Allah SWT telah di tempatkan di maqam tajrid. Oleh karena itu dia dituntut untuk melakukan hal yang sesuai dengan maqamnya, yaitu mempelajari al-Quran dan ilmu syri'at.

Orang seperti ini tidak boleh dikataan : "Syara' memerintahmu untuk mencari rizqi dan mencegah untuk melakukan pengangguran". karena yang diperintahkan syara' untuk pergi ke pasar dan mencari rizqi itu adalah orang-orang yang tidak memiliki tanggung jawab seperti orang tua dan para pejabat. Adapun orang yang telah di beri Allah SWT kebutuhan rizqi, seperti santri maka di dia syari'atkan tidak mencari rizqi. Yang di larang Syara' adalah jadi pengangguran padhal santri bukan menganggur tetapi waktunya di alihkan dari maqam asbab(cari rizki) ke maqam tajrid (mempelajari agama).

c. Contoh Ketiga
Seseorang yang bekerja di sebuah toko, dia mengetahui jika dia bekarja dari jam 07.00 pagi sampai jam 17.00 sore, maka dia akan mendapatkan uang yang cukup. Maka syara' akan berkata kepadanya : "Allah SWT telah menempatkan dirimu dari jam 07.00 pagi-jam17.00 sore di maqam asbab dan kamu wajib bekerja dengan keras. Adapun sebelum dan sesudah waktu tersebut, Allah menepatkan dirimu pada maqam tajrid. Oleh karena itu kamu harus menggunakan waktu untuk mendalami pengetahuan tentang Islam dan beribadah.


d. Contoh keempat
Seseorang yang sedang berada di Amerika untuk belajar, setelah itu dia berkeinginan mendapatkan harta dan kehidupan baik. Kemudian dia menetap bersama keluarganya dan mencari pekerjaan disana. Apakah yang demikian itu sesuai dengan tuntunan syari'at?
Realitalah yang akan menjawabnya.realita yang ada mengatakan bahwa orang yang hidup di Amerika dan Eropa bersama anak-anak dan keluarganya rusak moralnya karena lingkungan di Amerika dan Eropa yang bebas dalam pergaulan. Oleh karena itu semestinya orang tersebut sedang menjalankan maqam tajrid bukan maqam asbab, buktinya jika orang tersebut masih mencari harta di Amerika, maka anak-anaknya akan terjerumus pada pemikiran-pemikiran yang tidak Islami. Inilah yang di sebut Ibnu 'Atha'illah :


...وإرادتك الأسباب مع إقامة الله إياك في التجريد انحطاط عن الهمة العلية



Artinya :
"…Sedang kamu ingin maqam asbab padahal Allah menempatkanmu di maqam tajrid itu adalah penurunan dari cita luhur."
Amal Ibadah
Hikmah 1 Dari Kitab Hikam
من علامات الإعتماد على العمل نقصان الرجاء عند وجود الزلل

"Termasuk tanda berpegang pada amal adalah kurang mengharapkan ampunan Allah SWT ketika berbuat kesalahan"


1. Penjelasan

Berpegang pada amal (mengandalkan amal) adalah suatu hal yang tercela. Ibnu Atha’illah menasehati kita : “Takutlah kamu berpegang pada amal seperti shalat, puasa, shadaqah, dan lain-lain untuk mencapai ridla Allah SWT dan memperoleh balasan yang Allah SWT janjikan. Tetapi berpeganglah pada pemberian Allah dan anugrah-Nya.

Al-Allamah Burhanuddin Ibrahim bin Ibrahim bin Hasan Al-Laqqoni di dalam kitab Jauharotul Al- Tauhid :



فإن يثبنا فبمحض الفضل¯وان يعذب فبمحض العدل

Artinya :
Apabila Allah memberi pahala kepada kita maka itu adalah murni dari anugrah-Nya, dan bila Allah menyiksa kita maka itu adala murni keadilan-Nya.

Ini adalah salah satu konsep aqidah yang harus dimiliki oleh setiap muslim sebagaimana aqidah ulama-ulama salaf.



Terkadang ada orang yang berkata, secara lahir pahala yang berhak dimiliki seseorang adalah karena amal shaleh yang dia lakukan. Namun ketika kita mau berfikir dan merenung tentang hubungan antara hamba dan Tuhannya, maka kita akan mengerti bahwa apa yang diucapkan oleh orang tersebut adalah salah.


Kesalahan tersebut muncul ketika dia mengatakan bahwa surga bisa diperoleh dengan amal ibadah. Maka maknanya, Allah telah menentukan harga surga bukan dengan dinar atau dirham, melainkan dengan taat beribadah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Dan konsekwensinya ketika dia telah menyerahkan ibadah sebagai harga, maka dia telah memiliki surga dan berhak mengeluarkan penjualnya (Allah) seperti halnya hubungan antara penjual dan pembeli.

Tentunya ini adalah kesalahan yang sangat fatal sekali. Ingatlah ketika Allah SWT memerintah kita untuk beribadah dan melarang dari maksiat serta memberi taufiq dan hidayah kepada kita sehingga kita bisa beribadah. Siapakah Dzat yang telah memberi kita kekuatan untuk shalat dan puasa? Siapakah Dzat yang telah memberikan kelapangan dada untuk beriman?. Jawabannya tidak lain adalah hanya Allah SWT semata.

2. Dalil
a. Firman Allah dalam surat Al-Hujurat : 17 :

يَمُنُّونَ عَلَيْكَ أَنْ أَسْلَمُوا قُلْ لَا تَمُنُّوا عَلَيَّ إِسْلَامَكُمْ بَلِ اللَّهُ يَمُنُّ عَلَيْكُمْ أَنْ هَدَاكُمْ لِلْإِيمَانِ إِنْ كُنْتُمْ صَادِقِينَ [الحجرات/17
Artinya :

Mereka merasa telah memberi nikmat kepadamu dengan keislaman mereka. Katakanlah “Janganlah kamu merasa telah memberi nikmat kepadaku dengan keislamanmu, sebenarnya Allah Dialah yang melimpahkan nikmat kepadamu dengan menunjuk kamu kepada keimanan jika kamu adalah orang-orang yang beriman”. (QS. Al-Hujurat : 17)

Jadi sangat tidak pantas sekali ketika seseorang mengatakan bahwa ibadah adalah harga untuk membeli surga Allah SWT.

Oleh karena itu, jangan sampai terbesit sedikit pun dalam hati kita bahwa kita berhak memperoleh surga dan pahala sebab telah melakukan kewajiban-kewajiban yang dibebankan Allah SWT dan telah menjauhi larangan-larangan-Nya, karena bila kita meyakini hal tersebut, maka itu merupakan salah satu bentuk dari kemusyrikan.

Hubungan antara manusia dan Tuhannya tidak bisa disamakan dengan hubungan antar sesama manusia sebab Allah SWT adalah Dzat yang menciptakan manusia dan segala apa yang dia lakukan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh Rasulullah SAW kepada ummatnya.

لا حولا ولا قوّة إلا بالله

Artinya :

Tidak ada daya untuk melakukan ibadah dan tidak ada kekuatan untuk menjauhi maksiat kecuali Allah.


Ketika kita memuji Allah dengan mulut kita, maka kita wajib bersyukur kepada Allah karena dia telah menggerakkan mulut untuk memuji-Nya, ketika kita melakukan shalat tahajjud, maka wajib bagi kita untuk bersyukur karena Allah telah memberikan taufiq-Nya, dan seandainya bukan karena rahmat, inayah dan hidayah-Nya, maka kita pasti masih tenggelam dalam lelap tidur.


Dari penjelasan-penjelasan di atas terkadang timbul pertanyaan mengenai makna firman Allah yang terdapat di dalam surat An-Nahl : 32


...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [النحل/32

Artinya :

Masuklah kamu ke dalam surga itu di sebabkan apa yang telah kamu kerjakan. (QS. An-Nahl :32)

Bila dilihat dari dhahirnya, seolah-olah ayat di atas memberi kesan bahwa masuk surga itu disebabkan oleh amal seseorang, apakah memang demikian?, jawabannya adalah tidak, karena kalam tersebut hanya berasal dari satu pihak yaitu Allah SWT, bukan dari dua pihak yang sedang melakukan akad. Pertama kali Allah memberi kita taufiq sehingga kita bisa beramal shalih dan melakukan kebaikan. Setelah itu Allah SWT berfirman :



...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [النحل/32

Artinya :
…Masuklah kedalam surga karena apa yang telah kamu kerjakan. (QS. An-Nahl : 32)

Maka kesimpulannya, masuk surga bukanlah sebab amal kita tetapi murni dari anugrah dan ihsan Allah SWT. Dan bila perasaan tersebut (masuk surga karena amal sholih) sulit dihilangkan, maka kita harus memahami makna ubudiyyah kepada Allah SWT dan kita juga harus ingat bahwa kita sangat butuh pada pertolongan dan inayah Allah SWT.


b. Hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari ra. :

لن يدخل أحدكم الجنة عمله قالوا ولا أنت يا رسول الله قال : "ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمة

Artinya :

Salah satu diantara kalian amalnya tidak akan memasukkannya ke surga. Para Shahabat bertanya : Dan bukan engkau ya Rasulullah?. Rasulullah SAW menjawab : “Dan bukan aku, hanya saja Allah meliputi rahmat-Nya kepadaku”.


Jadi amal ibadah bukanlah harta yang bisa untuk membeli surga. Oleh karena itu yang dituntut dari seseorang yang diberi hidayah Allah SWT ketika dia mampu melakukan ibadah adalah merasa bahwa dia bisa mendapatkan ridla Allah SWT karena anugrah dan rahmat-Nya, bukan karena amal ibadah yang dia lakukan.


3. Aplikasi
a. Contoh

Sebuah perumpamaan yang bisa menggambarkan penjelasan di atas adalah kejadian sebagai berikut :
Ada seorang ayah yang ingin melatih amal kebaikan kepada anaknya. sang ayah pun berkata kepada anaknya : "Bila kamu bershadaqah kepada orang miskin, maka aku akan memberimu hadiah". Setelah itu sang ayah meletakkan sejumlah uang di dalam saku sang anak tanpa sepengetahuannya, lalu sang anak merenungkan perkataan ayahnya. Kemudian sang anak bershadaqah dengan uang tersebut kepada orang miskin. Sehingga sang ayah gembira melihat hal tersebut karena sang anak bisa melakukan kebaikan. Lalu dia pun memberi hadiah kepada anaknya.

Dari perumpamaan tersebut tidak bisa diragukan lagi bahwa uang yang di gunakan shadaqah adalah milik sang ayah. Sedangkan pemberian hadiah kepada sang anak walaupun secara dhahirnya dinamakan imbalan (jaza’), namun pada hakikatnya pemberian hadiah tersebut karena sang ayah sayang dan mendorongnya untuk melakukan amal sosial.

Diceritakan bahwa ada sebagian ulama’ ketika tidur bermimpi bertemu dengan salah satu waliyullah yang sudah wafat. Di dalam mimpinya dia bertanya kepada wali tersebut “Apa yang Allah lakukan kepadamu?”, wali tadi menjawab : ”Aku dihadapkan kepada Allah SWT dan Allah bertanya kepadaku : ”Dengan apa engkau datang kesini?”, lalu aku menjawab : “Ya Rabbi, saya adalah seorang hamba sahaya (budak), sedangkan hamba itu tidak memiliki apa-apa yang bisa diberikan. Aku datang kepada-Mu dengan penuh harapan mendapat ampunan dan rahmat-Mu”.

Jawaban yang disampaikan wali tersebut merupakan salah satu bentuk ubudiyyah yang bisa difaham dari hadist Abi Hurairah :

لن يدخل أحدكم الجنة عمله قالوا ولا أنت يا رسول الله قال : "ولا أنا إلا أن يتغمدني الله برحمة
Artinya :
Salah satu diantara kalian amalnya tidak akan memasukkannya ke surga. Para Shahabat bertanya : Dan bukan engkau ya Rasulullah?. Rasulullah SAW menjawab : “Dan bukan aku, hanya saja Allah memberikan rahmat-Nya kepadaku”.

Ibarat yang digunakan Rasulullah di dalam hadist di atas adalah عمله dan tidak menggunakan kata بعمله , karena seandainya Rasulullah menggunakan kalimat بعمله , maka akan bertentangan dengan ayat :

...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [النحل/32



Hadist tersebut juga mengandung makna bahwa berpegang pada amal tanpa mengharapkan ampunan dan rahmat dari Allah SWT, bisa menyebabkan kerugian dan tidak akan mencapai impian-impian yang dicita-citakan. Hal ini di disebabkan Allah telah menjadikan amal yang sangat rendah dan kurang sebagai jalan untuk memperoleh ampunan dan rahmat-Nya seperti di dalam ayat :



...ادْخُلُوا الْجَنَّةَ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ [النحل/32

Lihatlah ketika ada orang bershadaqah kepada fakir miskin, maka kamu akan mengetahui betapa berat rahmat Allah kepada hamba-Nya. Karena pada hakikatnya harta yang dia shadaqahkan adalah milik Allah SWT.

Di dalam surat An-Nur : 33 dijelaskan :

...وَآَتُوهُمْ مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي آَتَاكُمْ... [النور/33

Artinya :
Dia berikan kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu.(QS. An-Nur : 33)

Kemudian Allah mengkhitabi manusia di dalam surat Al-Baqarah :240 :

مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافًا كَثِيرَةً وَاللَّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (245

Artinya :

Siapakah yang mau memberi pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipat gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. (QS. Al-Baqarah : 245)



Di dalam ayat di atas Allah menempatkan Dzat-Nya seolah-olah sebagai orang yang berhutang kepada manusia yang bershadaqah dan Allah akan memberi balasan yang berlipat atas shadaqahnya.


Bila kita menyangka bahkan yakin bahwa Allah berhutang, sehingga kita bisa menuntut pahala ketika sudah bershadaqah, maka berarti kita telah mabuk dan gila, karena kita lupa bahwa apa yang kita miliki pada hakikatnya adalah milik Allah SWT.

Terkadang timbul pertanyaan apakah ada pertentangan antara Allah memasukkan manusia dengan rahmat-Nya dan Allah memerintah manusia untuk beribadah? .



Jawabannya adalah tidak. Ibadah merupakan hak Allah yang wajib dilakukan manusia sebagai pembuktian bahwa dia adalah hamba Allah. Sedangkan surga adalah karunia Allah sebagai bukti sifat-sifat rahmat-Nya dan Allah telah memutuskan bahwa orang yang paling berhak mendapat rahmat adalah yang paling banyak melakukan kewajiban-kewajiban. Di dalam surat Al-A’raf : 156, dijelaskan :

...وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ [الأعراف/156

Artinya :

Dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu, maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-A’raf : 156)


b. Alamat I'timad Pada Amal

Kurang percaya terhadap rahmat Allah SWT termasuk mengandalkan amal. Adapun cara menghilangkannya adalah dengan tidak mengandalkan pada suatu amal dan selalu mengharap rahmat dan ampunan Allah SWT serta takut akan siksa dan adzab-Nya ketika melakukan kesalahan. Sehingga ketika seseorang merasa tidak memiliki kekuatan untuk melakukan ibadah dan kewajiban yang sangat banyak maka akan timbul dua perasaan, yaitu perasaan mengharap ampunan dan rahmat Allah SWT dan perasaan malu dan takut di sisi Allah SWT.


Terkadang syetan akan menghasut manusia bahwa ibadah dan takut itu tidak berperan dalam memperoleh rahmat Allah sehingga tidak ada perbedaan antara melakukan ibadah dan meniggalkannya (melakukan maksiat).


Hasutan ini tidak boleh di turuti. Karena dalam ayat :

...وَرَحْمَتِي وَسِعَتْ كُلَّ شَيْءٍ فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ وَيُؤْتُونَ الزَّكَاةَ وَالَّذِينَ هُمْ بِآَيَاتِنَا يُؤْمِنُونَ [الأعراف/156

ternyata Allah menggunakan kalimat لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ(Bagi orang-orang bertaqwa) Dan tidak menggunakan kalimat ِللنَّاِس (semua manusia).

Ayat ini juga mengandung dua hal yang saling talazum (bergantung dan mengisi), yaitu:

1) Seseorang harus berjalan di jalan yang benar dengan melakukan perintah-perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya.

2) Seseorang harus mengerti bahwa surga dan pahala itu diperoleh dengan rahmat dan ampunan Allah, bukan dengan amal ibadah.


Dua hal ini juga terkandung di dalam surat Thaha : 82 :

وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِمَنْ تَابَ وَآَمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى (82

Artinya :
Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertaubat, beramal shalih, kemudian tetap di jalan yang benar. (QS. Thaha : 82)

Dari ayat di atas bisa difahami bahwa iman dan amal shalih adalah hal yang wajib, sedangkan pahala itu diperoleh dari ampunan dan rahmat Allah SWT.

Mungkin di dalam hati kita timbul sebuah pertanyaan : Allah telah menakut-nakuti orang yang berdosa dan berbuat maksiat dengan siksa-siksa-Nya, lalu bagaimana mungkin orang yang berbuat dosa tidak berkurang harapannya terhadap ampunan dan rahmat Allah? padahal Allah juga mensyaratkan iman dan takwa untuk memperoleh rahmat-Nya. Seperti pada surat Al-A'raf ayat 156 :

...فَسَأَكْتُبُهَا لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ... (156

Artinya :
Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku bagi orang-orang yang bertaqwa. (QS. Al-A’raf : 156)

Jawabannya adalah orang yang berbuat maksiat harus bertaubat karena dia tidak mungkin bisa menghadap Allah dengan mengharapkan rahmat-Nya kecuali dengan bertaubat dan menyesali dosa-dosanya.

Bila dia mau bertaubat dengan sungguh-sungguh maka harapan terhadap rahmat Allah akan selalu bertambah dan Allah pasti akan menerima taubatnya, Allah SWT berfirman di dalam surat At-Taubah : 104 :

أَلَمْ يَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ هُوَ يَقْبَلُ التَّوْبَةَ عَنْ عِبَادِهِ وَيَأْخُذُ الصَّدَقَاتِ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ [التوبة/104

Artinya :

Tidaklah mereka mengetahui, bahwasanya Allah menerima taubat dari hamba-hamba-Nya dan menerima zakat dan bahwasanya Allah Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang. (QS. At-Taubah : 104)


Demikian pula di dalam hadist qudsi di terangkan :

اذ نب عبد ذنبا فقال : اللهم اغفرلي ذنبي فقال الله تبارك وتعالى اذنب عبدي ذنبا فعلم ان له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب فقال اي رب اغفرلي ذنبي فقال الله تبارك وتعالى اذنب عبدي ذنبا فعلم ان له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب ثم عاد فأذنب ثم عاد فأذنب فقال اي رب اغفرلي ذنبي فقال الله تبارك وتعالى اذنب عبدي ذنبا فعلم ان له ربا يغفر الذنب ويأخذ بالذنب قد غفرت لعبدي فليفعل ما شاء.(الحديث(

Artinya :

Ada seseorang melakukan dosa lalu dia berdo’a : Ya Allah ampunilah dosaku. Lalu Allah berkata : Hambaku telah melakukan dosa lalu dia mengerti bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa sebab melakukan dosa. Kemudian sang hamba kembali melakukan dosa, lalu dia berdo’a : Ya Tuhanku, ampunilah dosaku. Lalu Allah berkata : Hambaku telah melakukan dosa lalu dia mengerti bahwa dia memiliki Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa sebab melakukan dosa. Kemudian sang hamba kembali melakukan dosa, lalu dia berdo’a : Ya Tuhanku, ampunilah dosaku. Lalu Allah berkata : Hambaku telah melakukan dosa lalu dia mengerti bahwa dia memilik Tuhan yang mengampuni dosa dan menyiksa sebab melakukan dosa. Sungguh aku telah mengampui hambaku, maka hendaknya dia berbuat apa yang dia mau.


Semua penjelasan diatas juga bisa difaham balik (Mafhum Mukholafah) bahwa orang yang bertambah harapannya terhadap rahmat Allah SWT ketika melakukan amal shalih, maka dia termasuk orang yang mengandalkan amalnya.


Hal tersebut bisa divisualisasikan dengan keadaan seseorang yang sudah tua yang selalu melakukan ibadah dan memperbanyaknya sampai-sampai dia merasa bahwa dengan ibadah yang banyak dia akan memperoleh pahala yang banyak dan pasti termasuk penghuni surga.


Adapun cara menjauhinya adalah dengan mengetahui bahwa hak-hak Allah SWT yang wajib dilakukan hambanya tidak bisa dipenuhi dengan banyak atau sedikitnya taat. Seandainya hak tersebut bisa dipenuhi dengan taat, maka orang yang paling utama melakukan hal tersebut adalah para Nabi dan Rasul. Tetapi tidak ada satu pun Nabi dan Rasul yang menghubungkan harapan rahmat Allah dan ampunan-Nya dengan taat dan ibadah mereka, namun mereka selalu mengharapkan ampunan Allah SWT.

Contohnya adalah Nabi Ibrahim, beliau merasa di bawah derajat orang-orang yang shalih dan selalu meminta kepada Allah agar dipertemukan dengan orang-orang yang shalih.


Di dalam Al-Qur’an di jelaskan :

رَبِّ هَبْ لِي حُكْمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ [الشعراء/83
Artinya :
(Ibrahim berdo’a), Ya Tuhanku, berikanlah kepadaku hikmah dan masukanlah aku ke dalam golongan orang-orang yang shalih. (QS. Syu’ara’ : 83)

Dan beliau selalu mengharapkan ampunan dari Allah SWT seperti yang diterangkan di dalam surat Ibrahim : 41.

رَبَّنَا اغْفِرْ لِي وَلِوَالِدَيَّ وَلِلْمُؤْمِنِينَ يَوْمَ يَقُومُ الْحِسَابُ [إبراهيم/41
Artinya :
Ya Tuhan kami, ampunilah aku dan kedua ibu bapakku dan sekalian orang-orang mukmin pada terjadinya hisab (Hari Kiamat). (QS. Ibrahim:41)

Demikian pula Nabi Yusuf, beliau merasa jauh untuk sampai pada derajat shalihin dan beliau selalu meminta Allah agar dipertemukan dengan orang-orang shalih.


رَبِّ قَدْ آَتَيْتَنِي مِنَ الْمُلْكِ وَعَلَّمْتَنِي مِنْ تَأْوِيلِ الْأَحَادِيثِ فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ أَنْتَ وَلِيِّي فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ تَوَفَّنِي مُسْلِمًا وَأَلْحِقْنِي بِالصَّالِحِينَ [يوسف/101]

Artinya :

Ya Tuhanku, sesungguhnya Engkau telah menganugrahkan kepadaku sebagian kerajaan dan telah mengerjakan kepadaku sebagian ta’bir mimpi. (Ya Tuhanku) pencipta langit dan bumi. Engkaulah pelindungku di dunia dan di akhirat, wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan kumpulkanlah aku dengan orang-orang shalih.(QS.Yusuf:101)

Begitu pula baginda Nabi Muhammad SAW, seperti yang dijelaskan di dalam hadist.


...ولا اتا الا ان يتغامدني الله برحمته

Jadi amal ibadah yang dilakukan manusia hanyalah bayaran yang sangat kecil akan kewajiban mensyukuri nikmat-nikmat Allah yang tidak terhitung. Maka bagaimana mungkin hal itu bisa dijadikan imbalan (ganti) untuk masuk surga?.

Seseorang setelah mengetahui dan mengerti bahwa dia adalah hamba yang di miliki Allah, maka dia wajib untuk menyembah Allah, baik akan diberi pahala atas ibadahnya atau pun tidak. Kemudian dia harus meminta surga kepada Allah dengan rahmat-Nya dan ihsan-Nya, serta meminta perlindungan dari api neraka dengan kelembutan dan ampunan-Nya.

Seandainya seseorang mengaku bahwa dia menyembah Allah karena mengharapkan surga-Nya, sekiranya jika dia tahu bahwa dia tidak akan memperoleh surga dengan amalnya, lalu dia berhenti beribadah dan tidak mempedulikan hukum (syari’at Allah), maka dia bukanlah orang yang mukmin. Karena dia telah memperlihatkan bahwa dia bukan hamba Allah, melainkan hamba surga.

Dari sini kita mengetahui betapa tingginya ajaran tauhid dalam munajat Rabi’ah Al-Adawiyyah ketika berdo’a. Beliau berdo’a : ”Ya Allah sesungguhnya aku tidak menyembah-Mu ketika aku menyembah-Mu karena mengharapkan surga-Mu dan takut dari neraka-Mu. Tetapi aku mengetahui bahwa Engkau adalah Tuhan yang berhak untuk disembah sehingga aku menyembah-Mu".

Sebagian orang yang dangkal pemikirannya menyangka bahwa Rabi’ah tidak membutuhkan surga yang telah dijanjikan Allah kepada hamba-Nya yang shalih, sehingga mereka mencela Rabi’ah. Persangkaan ini sangatlah keliru, karena di dalam munajat-munajat yang lain, Rabi’ah meminta surga dan dijauhkan dari neraka. Hanya saja Rabi’ah tidak meminta hal tersebut sebagai upah atas shalat dan ibadah-ibadahnya, melainkan beliau meminta hal tersebut karena Allah adalah Dzat Yang Maha Kaya dan Maha Mulia. Sedangakan Rabi’ah adalah orang yang fakir dan mengharap kemurahan Allah SWT.

Ini semua adalah salah satu kunci hidup yang harus dipegang oleh setiap orang islam yakni tidak mengandalkan amal ibadahnya, tetapi yakin atas rahmat dan ampunan dari Allah SWT.