HIKMAH KE-24 : RAHASIA DI BALIK COBAAN

لا تستغرب وقوع الأكدار ما دامت في هذه الدار فإنها ما أبرزت إلا ما هو مستحق وصفها وواجب نعتها

"Janganlah menganggap aneh akan adanya beberapa problematika, selama engkau masih di dunia ini. Karena tidak akan ada di dunia ini kecuali sesuatu yang sudah pasti dan harus ada"

Uraian Dalam hikmah diatas Imam Ibnu ‘Athoillah bermaksud merespon peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitar kita dari masa ke masa. Yaitu, kenapa Allah swt menjadikan kita hidup di dunia harus menghadapi beberapa cobaan dan problematika? Kenapa pula di balik kebahagiaan yang kita rasakan di dunia, pasti selalu diiringi dengan musibah? Jawabnya adalah: di balik semua itu ada banyak hikmah yang bisa kita petik, yang secara ringkas bisa kita simpulkan menjadi dua poin. Pertama, Allah menjadikan dunia ini sebagai tempat cobaan atau bisa dikatakan sebagai tempat ujian bagi manusia. Manusia, di samping telah diberi amanat oleh Allah swt sebagai kholifah, juga di bebani tanggungan berupa Ubudiyyah (penghambaan) pada Allah secara Ikhtiyari (atas kemauan manusia sendiri), sebagaimana allah mewajibkan bagi makhluk-makhluk-Nya yang lain untuk menghamba kepadanya tetapi secara Qohri (terpaksa).

Praktek ubudiyah bisa terealisasikan dengan adanya ketundukan total terhadap semua hukum yang telah ditetapkan oleh Allah swt serta ridlo akan taqdir-Nya, baik berupa nikmat atau cobaan, serta meyakini dengan sungguh-sungguh bahwa semua yang terjadi adalah berdasar kehendakNya. Kita bisa mengambil sebuah kesimpulan bahwa manusia memang disiapkan oleh Allah sebagai mukallaf atau orang yang siap menerima beban dan tanggung jawab dari Allah swt. Coba kita bayangkan jika manusia di dunia ini hanya mendapatkan nikmat saja, tidak pernah mendapatkan musibah sama sekali.

Mereka selalu senang dan bahagia, tidak pernah merasakan kesusahan sedikit pun, maka akan muncul sebuah pertanyaan singkat, "Mana bukti kehambaan manusia? Bagaimana sebuah penghambaan bisa tampak darinya, Sedang ia selalu berada dalam kesenangan dan kenikmatan." Ya, pertanyaan di atas sangat layak untuk dilontarkan. Karena penghambaan merupakan buah dari taklif, sedang sesuatu tidak bisa dikatakan taklif jika tidak mengandung masyaqqoh (kepayahan).

Orang yang berakal sehat, malah akan merasa aneh jika membayangkan bahwa dunia ini hanya dipenuhi kesenangan dan kenikmatan belaka. Karena masyaqqoh yang merupakan implementasi dari ubudiyyah tidak bisa tampak dalam dunia seperti yang disebut tadi, sehingga ia akan kehilangan kesempatan untuk menghambakan dirinya atau bercumbu (Munajat) dengan kekasih satu-satunya, yakni Allah swt.

Kehidupan yang hanya dipenuhi oleh berbagai kenikmatan dan kesenangan sangat membingungkan bagi orang yang berakal dan punya mata hati. Doa adalah buah dari rasa faqir (butuh), lemah dan Khosyyah (ketakutan) kita akan segala siksa, musibah dan ancaman terhadap diri kita.

Sehingga hal itu akan mendorong kita untuk berdoa dan meminta kepada Dzat yang maha kaya, maha kuat untuk melindungi kita. Lalu bagaimana bisa manusia berdoa sedang ia tidak pernah menghawatirkan apa pun atas dirinya.

Dengan kepadaian akal dan ketajaman mata hati manusia, maka akan timbul sebuah respon dan sikap yang baik terhadap adanya beberapa Taklif dan macam-macam cobaan ataupun kenikmatan dari allah swt, sikap yang kami maksud diatas adalah sabar, jika yang memang yang kita terima adalah musibah dan cobaan, dan sikap syukur, jika yang kita terima adalah kesenangan dan kenikmatan. Kedua, jika kita mau merenung, kita akan tahu bahwa kehidupan dunia ini adalah sebuah area atau medan terjal yang dipenuhi dengan rintangan, untuk menuju ke suatu tempat yang kekal dan abadi, yakni akirat. Allah swt pun sudah menetapkan bahwa pintu yang kita lewati untuk menuju ke alam keabadian tersebut hanya satu, tidak ada yang lain. Hal itu tak lain adalah kematian. Jadi, kematian adalah akhir dari episode kehidupan manusia di dunia ini.

Dan kematian bukanlah ketiadaan sebagaimana disangka oleh sebagian orang, akan tetapi perpindahan dari satu kehidupan menuju ke kehidupan yang lain. Jika kita sudah tahu bahwa kehidupan dunia tidak kekal, maka apakah masuk akal jika kemudian kehidupan dunia ini hanya dipenuhi dengan kenikmatan dan kebahagiaan saja? Padahal kehidupan ini bisa dikatakan lebih mirip dengan kondisi orang yang singgah di suatu tempat dan tentunya tidak lama.

Tentu tidak masuk akal bagi orang berakal dan punya pandangan mata hati yang tajam. Andaikan kehidupan dunia hanya dipenuhi kenikmatan dan kebahagiaan saja maka hal itu akan menimbulkan kecintaan seorang hamba terhadap dunia dan selalu ingin hidup didalamnya. Ia merasa bahwa dunia ini rumahnya, ia lalai bahwa sebenarnya tempat tinggalnya adalah di akherat, ia selalu memperbaiki dan menghiasi kehidupan dunia ini, sementara ia lupa akan rumahnya yang di akherat nanti.

Hal ini semua adalah akibat adanya persepsi bahwa dunia mestinya hanya diisi dan dipenuhi dengan kenikmatan dan kebahagiaan saja. Irama kehidupan dunia yang kadang dimainkan dengan lagu-lagu yang bersenandung kebahagiaan dan kadang dimainkan dengan lagu-lagu yang bersenandung kesusahan adalah satu bentuk rahmat dan kasih sayang allah swt terhadap hambanya. Karena Dia tidak ingin melihat hambanya terpesona dan nyaman dengan irama-irama keindahan dunia ini dan lupa bahwa nanti masih ada kehidupan yang kekal dan abadi yang membutuhkan bekal yang tentunya juga lebih banyak.

Dalil-dalil Dua poin di atas merupakan hal yang tidak bisa kita pungkiri. Karena keduanya merupakan penjelasan (Syarh) atas hikmah yang disampaikan Ibnu ‘Athoillah diatas. Dan dua poin ini bisa menjawab dan mengurangi kesusahan dan kegelisahan kita melihat kehidupan dunia yang diiringi irama susah dan senang.

Akan tetapi yang menjadi pertanyaan, mana dalil yang menguatkan dan membenarkan dua poin di atas? Atau apakah kedua poin di atas hanya merupakan renungan dan angan-angan yang merupakan kreasi akal dan fikiran Ibnu ‘Athoillah saja? Tentu jawabnya ada dalil dari al-Qur'an dan Hadis yang mendukung dan membenarkan dua poin di atas. Al-Qur'an telah mengingatkan kita akan hal ini dalam beberapa ayatnya, coba saja kita perhatikan dan renungi surat Ali Imron ayat 186 di bawah ini:

لتُبْلَوُنَّ فِي أَمْوَالِكُمْ وَأَنْفُسِكُمْ وَلَتَسْمَعُنَّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَمِنَ الَّذِينَ أَشْرَكُوا أَذًى كَثِيرًا وَإِنْ تَصْبِرُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ عَزْمِ الْأُمُورِ.

"Kamu sungguh-sungguh akan diuji terhadap hartamu dan dirimu. Dan (juga) kamu sungguh-sungguh akan mendengar dari orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu dan dari orang-orang yang mempersekutukan Allah, gangguan yang banyak yang menyakitkan hati. Jika kamu bersabar dan bertakwa, maka sesungguhnya yang demikian itu termasuk urusan yang patut diutamakan"

Dalam salah satu ayat al-Qur'an ada satu keterangan yang lebih jelas dan mengumpulkan semua keterangan di atas, yakni dalam surat al-Mulk ayat 1-2 yang berbunyi:

تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ.

"Maha Suci Allah Yang di tangan-Nyalah segala kerajaan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu, Yang menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun".

Jadi, jika kita telah mengetahui bahwa kehidupan di dunia adalah tempat taklif, cobaan dan ujian maka kita harusnya yakin bahwa kehidupan akhirat adalah tempat untuk memperoleh pahala dan pembalasan.

Hal ini akan kita temukan secara jelas dalam surat al-Anbiya' ayat 35 yang berbunyi:

وَنَبْلُوكُمْ بِالشَّرِّ وَالْخَيْرِ فِتْنَةً وَإِلَيْنَا تُرْجَعُونَ.

"Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)".

Uraian di ataslah kira-kira adalah yang dikehendaki oleh imam Ibnu ‘Athoillah dalam hikmahnya. Aplikasi Sebenarnya hikmah di atas telah teraplikasikan dalam kehidupan para kekasih Allah swt setiap harinya.

Hal ini bisa kita ketahui dari beberapa ungkapan mereka.

Di antaranya adalah:

a. Imam Abu al-Qosim al-junaidi pada satu kesempatan berkata, "Aku tidak pernah merasa kenyang dengan segala sesuatu yang datang padaku dari dunia ini, karena dunia adalah tempat kesusahan, cobaan dan fitnah. Maka, dunia dan seisinya adalah sesuatu yang jelek dan berbahaya. Karenanya dunia pasti datang kepadaku dengan segala sesuatu yang aku benci, dan jika ia datang kepadaku dengan sesuatu yang aku senangi maka itu hanya sesuatu yang berlebihan."

b. Imam Abu Turab Ra berkata, "Wahai para manusia, sesungguhnya engkau mencintai tiga perkara padahal sebenarnya ketiganya bukan hakmu. Pertama nafsu, padahal sebenarnya ia adalah untuk kesenangannya (hawa). Kedua, ruh padahal sebenarnya ia adalah milik Allah. Ketiga, harta padahal nanti hartamu akan dimiliki oleh ahli warismu. Engkau mencari dua perkara, padahal engkau tidak akan pernah mendapatkannya, yakni kesenangan dan kenyamanan sedang keduanya hanya ada di surga.

Maka hal yang wajib dilakukan oleh seorang hamba adalah tidak menjadikan dirinya nyaman di dunia dan tidak mempunyai kecenderungan terhadap sesuatu yang menjadikan kita bahagia dan nyaman didunia.

Kita harus belajar dan berusaha untuk mengamalkan dan mengimplemetasikan sabda baginda Nabi Muhammad saw : dunia adalah penjara bagi orang mu'min dan surga bagi orang kafir. Kebiasaan seorang hamba untuk menghadapi cobaan di dunia akan menjadikan dia merasa ringan dalam segala hal yang mereka hadapi dan temui, ia pun akan merasa nyaman saja ketika kehilangan sesuatu yang disenangi olehnya. Hendaknya seorang murid (orang yang menghendaki jalan akherat) menghadapi apa saja yang ia temui dengan penuh kesabaran, pasrah dan ridlo terhadap qodlo' allah swt, maka insya allah sebentar lagi akan tampak jelas rahmat allah atas dirinya dan menyebabkan ia mendapat pahala dari Allah swt. Waallahu ‘alam bis showab.

2 komentar: