Hikmah 234 Perbedaan tawadlu’ haqiqi dan tidak haqiqi

( ليس المتواضع الذي إذا تواضع رأى أنه فوق ما صنع )
( ولكن المتواضع الذي إذا تواضع رأى أنه دون ما صنع )

"Orang yang mempunyai sifat tawadlu' bukanlah orang yang, ketika dia melakukan tawadlu' maka dia merasa bahwa sifatnya mengungguli atas apa yang dilakukannya. Tetapi orang yang tawadlu' adalah, ketika dia tawadlu' maka dia merasa bahwa sifatnya lebih rendah dari perbuatan yang dilakukannya".

A. Penjelasan

tawadlu' dipandang dari sifatnnya dibagi menjadi dua :

a. Tawadlu' yang tidak haqiqi (tidak sebenarnya)

Tawadlu' adalah sifat yang berhubungan dengan hati manusia dan merupakan salah satu sifat terpuji dan dicintai oleh masyarakat, sifat ini tidak bisa dilihat oleh panca indera manusia dan tidak akan bisa ditipu dengan rekayasa tubuh manusia.
Manusia pada umumnya sangat senang sekali ketika dipuji oleh seseorang, hal seperti ini , akan terjadi pada ruang lingkup masyarakat, karena tidak akan mungkin terjadi pujian tersebut pada seseorang yang keadaan hidupnya sendirian.

Keadaan ini, ketika diterapkan pada seseorang yang mempunyai sifat terpuji dan luhur , dia merendahkan diri dikalangan masyarakat dengan tujuan mendapatkan pujian dari mereka, maka masyarakat akan menganggapnya orang yang mempunyai sifat tawadlu', karena mereka melihat kenyataan yang ada, tetapi disisi Allah orang seperti ini tidak mempunyai sifat tawadlu' karena Allah mengetahu tujuannya.

Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasalam menyifati Orang seperti ini dengan sebutan Mutasyabi'. yaitu orang yang menyifati dirinya sendiri tidak sesuai dengan kenyataan. ini adalah orang yang selalu menghiasi dirinya dengan sifat tawadlu' dikalangan masyarakat, seperti memakai pakaian yang tidak layak, selalu ingin duduk paling belakang, dengan tujuan supaya masyarakat menganggap bahwa dia tidak pantas melakukan hal seperti itu padahal orang tersebut termasuk orang kaya dan terpandang dikalangan mereka, kemudian mereka memandangnya termasuk golongan orang-orang yang shalih dan dekat dengan Allah.

Hal ini disebabkan karena ada dua kesalahan pada orang tersebut :

1. Dia terbujuk dengan keinginan untuk memperlihatkan ketawadlu'annya kepada orang lain.
2. Memperlihatkan sifat terpuji, tetapi sifat tersebut berlawanan dengan kenyataannya.



b. Tawadlu' yang haqiqi (sebenarnya)

Manusia, sebenarnya bisa memiliki sifat tawadlu', karena pada dasarnya, makhluq Allah tersebut mempunyai sifat ingin selalu dipuji, tetapi mereka akan sulit untuk mendapatkan tawadlu' yang haqiqi, karena sifat tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang yang hatinya tidak mempunyai rasa untuk dipuji, sedangkang mayoritas manusia sifat tersebut sangat sulit sekali untuk dihilangkan.

Tawadlu' yang haqiqi bisa diterapkan pada seseorang yang mempunyai keyakinan kepada mereka yang menyangka bahwa dirinya adalah orang baik, rendah diri, dan mempunyai sifat yang terpuji yang mana itu adalah merupakan kebohongan yang sangat besar. Hal seperti inilah salah satu faktor yang menjadikan orang untuk menuntut dirinya memperlihatkan perbuatan ma'siata atau salaha pada orang lain, tetapi hal tersebut dilarang oleh syara',di karenakan Allah itu mencintai orang yang mau menutupi atas suatu kesalahan atau kema'siatan.

Dengan hal seperti inilah, maka sifat tawadlu' yang haqiqi akan bisa nampak pada diri seorang tersebut. Maka rasa penghormatan orang lain kepada dirinya itu justru akan menjadikannya susah, ini adalah merupakan salah satu sifat yang dikehendaki Allah subhanahu wata'ala dan juga manusia.

B. Dalil

a. Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda :

فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « الْمُتَشَبِّعُ بِمَا لَمْ يُعْطَ كَلاَبِسِ ثَوْبَىْ زُورٍ ».
Artinya : Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasalam bersabda : "orang yang keyang dengan sesuatu yang tidak berhak untuk diberi itu seperti orang memakai dua pakaian kebohongan".



Hadist ini menerangkan, bahwa orang yang menganggap bahwa dirinya tawadlu' dengan perbuatan terpuji dihadapan masyarakat, tapi dalam hatinya tidak mempunyai sifat tersebut, maka orang seperti ini disebut mutasyabi'

b. Diriwayatkan oleh Abu dawud

وأخرج أبو داود وبن أبي حاتم بسند قوي من حديث بن عباس أنه سئل عن الاستئذان في العورات الثلاث فقال ان الله ستير يحب الستر وكان الناس ليس لهم ستور على أبوابهم.
Dalam hadist ini Allah subhanahu wata'ala tidak menyukai hambanya, ketika dia menyebutkan ‘aib-‘aibnya.



C. Pendapat ‘ulama

Ada sebagian wali Allah, ketika dia dipuji oleh teman-temannya beliau berkata : "Wahai temanku", kalau seandainya Syara' mengizinkan saya untuk menyebutkan ‘aib-‘aibku, maka kamu akan mengetahui siapa sebenarnya diri saya".
Perkataan beliau menunjukan adanya sifat tawadlu' yang hakiki, karena dalam hati beliau sama sekali tidak mempunyai rasa ingin dipuji oleh orang lain.



Kemudian Imam Ghozali berkata dalam kitab Ihiya ‘Ulumuddin : " sebagian orang, ketika dia melakukan sesuatu dengan sifat tawadlu' secara dlohir, seperti duduk paling belakang, menolak untuk dihormati oleh orang lain, kemudian dia senang dengan sifat tawadlu'nya tersebut, maka, kalau dia meneruskan pekerjaan tersebut, dia termasuk golongan orang yang sombong ". Kemudian beliau menegaskan lagi : " perbuatan yang paling baik dalam permasalahan ini yaitu petengahan dalam menyikapinya ". Karena perbuatan tersebut bisa menegluarkan rasa sombong dalam hatinya ".

D. Kesimpulan

Tawadlu' adalah termasuk perbuatan yang dlohir, jika perbuatan tersebut sesuai dengan keinginan hati seperti takut dengan tipu daya manusia yang selalu memuji, tapi dia tetap melakukan perbuatan tersebut dengan istiqomah dan baik, maka hal tersebut merupakan tawadlu' yang hakiki. Sebaliknya, kalau perbuatan tersebut bertentangan dengan keinginan hati seperti senang dengan pujian manusia, maka hal itu termasuk macam-macam sifat sombong.

0 komentar:

Posting Komentar